Minggu, 28 Agustus 2016

Sedikit Cerita Aku, Aziz, Rosi, Om Agus, dkk Portugis dan Sunda

Cerita dari teman…
Jum'at, 26 Agustus 2016


Malam itu, tepatnya malam jum’at, seperti biasa aku melakukan pengajian bersama sanak saudara untuk meningkatkan ukhuwah dan keimanan satu sama lain. Entah motivasi apa yang membisikanku waktu itu, sekitar pukul 11 malam, aku melakukan perjalanan bersama Aziz untuk menindaklanjuti acara pembacaan Puisi Portugis – Sunda ke sebuah tempat didaerah Unpak.

Tidak biasanya aku berangkat dari rumah dimalam hari, terlebih keesokan harinya adalah bukan hari libur. Singkat cerita, setelah aku mengcopy data ke falshdisk aku dan Aziz pergi, tentu saja aku berpamitan terlebih dahulu, meminta do’a restu dari orang tua agar selamat diperjalanan. Berhubung waktu itu, teman-teman band sedang berkumpul membesuk tetangga sekaligus saudara saya yang sakit patah tulang. Malam itu, kami berangkat.

***

Belum juga menempuh 100 meter dari rumah, aku terpaksa harus kembali kerumah karena ban sepeda motorku kempes, Aziz menunggu dipinggir jalan sementara aku memompa ban. Setelah itu, kami berangkat menuju tempat yang aku tidak tahu, Aziz memberitahukan rutenya.

Sesampainya disana, disebuah rumah tingkat kediaman teman Aziz, kami disambut hangat. Kami bersalam-salaman dan diperkenalkan dengan temannya yang lain yang merupakan orang Timor-Timur. Didalam ruangan itu, kini ada 7 orang, 1 sedang tidur, 2 orang adalah tamu yang pernah tinggal di Portugis, 2 teman Aziz, dan 2 orang lagi adalah kami yang baru tiba.

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa ada rekan dari Portugis yang ingin melihat rekaman video yang aku simpan selama acara berlangsung. Aku turut membaur bersama mereka. Kami pun dijamu oleh tuan rumah rebusan dan buah-buahan.

Dari 2 orang yang aku temui disana, 1 diantaranya menguasai bahasa Indonesia, dia bernama Rosi, dan satunya kurang begitu paham dengan bahasa kami. Setelah cukup kami berkenalan, aku memberikan flashdisk kepada Pak Agus dan memasukan kedalam port USB Tv dengan ukuran 29 Inch disampingnya, untuk menyaksikan bersama-sama, menonton acara yang telah direkam oleh ponsel. Amatir sih, tapi cukup untuk mewakili keseluruhan acara karena aku berhasil mendokumentasikan seluruh acara terutama saat pembacaan puisi hingga selesai.

Ada banyak yang disampaikan oleh Pak Agus terutama filosofi acara dalam bahasa Portugis kepada mereka. Baik dari sejarahnya, alasan diselenggarakannya acara tersebut, pakaian, isi puisi dan lainnya. Aku yang merekam pun tidak terlalu banyak tahu akan pesan yang disampaikan, baru malam itu aku tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Foto dan video berdurasi 40 menit itu ditayangkan kepada kami, dikhususkan kepada 2 orang tamunya yang baru tiba dari Portugis. Ditengah dialog mereka dalam bahasa Portugis, aku hanya tersenyum dan menyimak diskusi mereka. Aku hanya seorang dokumenter pada saat itu.

Selesai video tersebut di tayangkan, aku menemani Aziz yang masih berbincang-bincang sambil ngopi bersama tuan rumah. Suara dari dawai gitar yang dinyanyikan oleh vocalist band kami, menambah merdu suasana ruangan keluarga pada malam itu, sekaligus membangunkan rekannya yang lain yang sejak awal tidur.

Aku sempat ditawari makan oleh tuan rumah, tapi aku menolak karena jam biologisku belum menerima asupan pada pukul setengah 2 malam, waktu dimana biasanya aku tertidur pulas. Ibu memintaku untuk menginap dirumah teman jika sekiranya aku pulang larut karena pintu sudah dikunci. Sambil menyesuaikan, aku ngobrol dengan Rosi yang bisa berbahasa Indonesia. Sambil terkantuk-kantuk, aku, Aziz dan Rosi melakukan diskusi yang amat seru. Pertama kalinya aku berkenalan, berteman dan mendengarkan cerita dari orang yang sudah biasa melakukan perjalanan keluar negeri. Aku menyimak semampuku.

***

Rosi, usianya 3 tahun diatasku. Dia adalah orang Timor-Timur yang saat itu sedang beristirahat dirumah Pamannya (pemilik rumah). Rosi berencana menikah dengan seorang gadis orang Cianjur dalam waktu dekat, itu sebabnya ia berada di Bogor. Garis takdir yang tidak pernah aku duga sebelumnya, sehingga kami bisa berkumpul pada malam itu.

Pekerjaannya yaitu sebagai pengemas daging di London, Inggris. Disana ia tinggal bersama pamannya. Rosi mengemas daging mentah untuk dipasarkan ke swalayan-swalayan di Inggris. Jam kerja disana 12 jam, pagi atau malam, sesuai sift yang ditentukan. Penghasilannya? Mau tahu?

Sehari ia diberi upah sampai 500 Ps (poundsterling) atau setara 800ribu sampai 1juta rupiah di Indonesia. Wow… sehingga penghasilannya sebulan bisa mencapai 25 juta rupiah. Itu sebabnya sangat disayangkan jika satu hari tidak masuk karena mangkir karena upahnya yang besar. Ketika tubuh merasa tidak enak/sakit, izin bekerja adalah salah satu upaya yang direkomendasikan ujar Rosi.

Pada perbincangan kami, ia menawari kami sebungkus rokok yang tidak aku ketahui namanya. Aziz dan Pak Agus sangat senang karena bisa menikmati rokok asli orang Inggris yang konon katanya rasanya seperti Marlboro. Aku sih hanya melihat saja. Bungkusnya sama seperti bungkus rokok pada umumnya, kotak kecil dengan isi 12-16 batang, dan terdapat tabel peringatan bahaya merokok, dalam bahasa Rusia.

Diskusi terus berlanjut, Rosi menceritakan bahwa rokok orang Indonesia begitu kuat dan pekat. Menghisap 2-3 batang rokok Indonesia, bisa membuat orang Inggris mabuk dan mual. Entah apa yang membedakan, begitulah ungkap Rosi yang pernah ia lakukan terhadap teman-temannya. Disamping itu, Rosi selalu membeli 1 pack rokok Indonesia yang ia anggap murah untuk dibagikan kepada teman-temannya disana. Hanya membagikan sekedar oleh-oleh. Jika ia jual, bisa berkemungkinan besar ia menjual barang illegal meskipun keuntungannya sangat menjanjikan, beli di Indonesia dengan harga 20.000 rupiah, bisa dijual mencapai 200.000 rupiah perbungkus. Tapi tidak ia lakukan karena Rosi memahami aturan/hukum yang berlaku.

Rosi yang kondisinya baru pulang dari daerah Ekalokasari (jalan-jalan dengan sepeda motor), melihat banci orang Indonesia begitu cantik. Dandanannya benar-benar total sehingga tidak terlihat seperti pria. Berbeda dengan banci yang berada di Inggris, mereka berbadan kekar, memakai pakaian ketat dan berpasangan dengan pasangan sejenis. Bahkan disana terdapat daerah khusus banci dengan komunitas mereka yang diperbolehkan oleh negara. Masing-masing dari mereka membawa bendera tersendiri dengan motif pelangi (dikenal LGBT). Jika berkesampatan ke Inggris, jangan sekali-kali kita mengenal mereka. Mengerikan.

Banyak hal yang ia bandingkan antara di Bogor dengan di London. Salah satu makanan, terutama buah yang menurutnya sangat enak adalah durian (ketika berkesempatan makan es durian di Bogor). Rasanya begitu nikmat. Sangat jarang ditemukan di Inggris buah bernama durian. Sekalipun ada pada musim tertentu oleh penjual buah, harga sangat sangat mahal. Perkilogramnya mencapai 1 juta rupiah. Itu pun dihitung dengan bijinya yang besar dan kulitnya yang menempel pada kemasan durian. Daging buahnya, mungkin hanya sedikit. Beruntung bisa mencicipi durian di Bogor. Buah lain yang membuatnya penasaran adalah rambutan, saat ini belum berkesempatan karena belum musimnya.

Hobinya terhadap sepak bola, ia realisasikan langsung ke tempat Barcelona, club sepak bola favoritnya. Aziz yang nge-fans juga dengan Barca, sangat terkejut dibuatnya karena Rosi pernah ke museum Barca dan staion Camp-Nou. Banyak hal yang Rosi ceritakan tentang bola. Bukti cerita itu, ia sertakan dengan foto-foto kunjungannya dari ponselnya. Begitu surprise dimata kami.

Kegemaran lain yang ia tekuni adalah musik. Tidak berbeda dengan aku dan Aziz, ternyata Rosi juga memiliki band bersama teman-temannya. Band indie yang Rosi garap dengan rekannya sudah membuat hampir 70 lagu orisinil. Untuk saat ini, band mereka vakum karena sedang berada dinegara yang berbeda-beda.

Rosi memperlihatkan lagu yang dibuatnya dari chanel youtube miliknya. Berkisahkan tentang cinta. Menarik. Ia senang bergelut didunia musik dan membuat lagu. Ia juga meminta saran, tempat membeli perlengkapan musik, untuk membeli senar gitar nilon karena di kampung halamannya sangat jarang ditemukan, untuk gitarnya yang sudah tidak bersenar.

Rosi menginginkan lagu-lagu ciptaannya bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yang pasti harus memiliki nuansa puitis ketika ditranslate ke Indonesia. Ia juga bercita-cita memiliki studio rekaman lagu, minimal dengan metode midi (computer), untuk mengembangkan minatnya didunia musik.

***

Diskusi kami dengan Rosi terus berlanjut hingga akhirnya aku tertidur dilantai karena tidak kuat dengan rasa kantuk yang membebani kelopak mata. Aziz dan Rosi yang masih kuat begadang, melanjutkan diskusi sambil bermain PS3. Dalam diskusi mereka, salah satunya membahas mengenai cara-cara penguasaan teknik vocal. Setelah itu gelap.

Pukul 05.00 aku terbangun dan langsung pamit untuk pulang. Aku dan Aziz pamit kepada seluruh orang yang berada ditempat itu. Terutama aku yang harus ke sekolah untuk mengajar.

Sungguh malam itu merupakan pengalaman dan diskusi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Cerita yang tidak hanya sebatas diskusi melainkan sebuah open mind perbandingan untuk melihat dunia yang luas, maklum, seumur hidup saya hanya tahu Bogor dan Tanah Baru, tidak lebih.

Hati-hati dijalan, sampai ketemu lagi nanti Rosi dan kawan-kawan. Senang berkenalan denganmu.

Salam

Bogor














Tidak ada komentar:

Posting Komentar