Cerita dari teman…
Jum'at, 26 Agustus 2016
Malam itu, tepatnya malam jum’at, seperti biasa aku melakukan
pengajian bersama sanak saudara untuk meningkatkan ukhuwah dan keimanan satu
sama lain. Entah motivasi apa yang membisikanku waktu itu, sekitar pukul 11
malam, aku melakukan perjalanan bersama Aziz untuk menindaklanjuti acara
pembacaan Puisi Portugis – Sunda ke sebuah tempat didaerah Unpak.
Tidak biasanya aku berangkat dari rumah dimalam hari, terlebih
keesokan harinya adalah bukan hari libur. Singkat cerita, setelah aku mengcopy
data ke falshdisk aku dan Aziz pergi, tentu saja aku berpamitan terlebih
dahulu, meminta do’a restu dari orang tua agar selamat diperjalanan. Berhubung waktu
itu, teman-teman band sedang berkumpul membesuk tetangga sekaligus saudara saya
yang sakit patah tulang. Malam itu, kami berangkat.
***
Belum juga menempuh 100 meter dari rumah, aku terpaksa harus
kembali kerumah karena ban sepeda motorku kempes, Aziz menunggu dipinggir jalan
sementara aku memompa ban. Setelah itu, kami berangkat menuju tempat yang aku
tidak tahu, Aziz memberitahukan rutenya.
Sesampainya disana, disebuah rumah tingkat kediaman teman
Aziz, kami disambut hangat. Kami bersalam-salaman dan diperkenalkan dengan
temannya yang lain yang merupakan orang Timor-Timur. Didalam ruangan itu, kini
ada 7 orang, 1 sedang tidur, 2 orang adalah tamu yang pernah tinggal di
Portugis, 2 teman Aziz, dan 2 orang lagi adalah kami yang baru tiba.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa ada rekan
dari Portugis yang ingin melihat rekaman video yang aku simpan selama acara berlangsung.
Aku turut membaur bersama mereka. Kami pun dijamu oleh tuan rumah rebusan dan
buah-buahan.
Dari 2 orang yang aku temui disana, 1 diantaranya menguasai
bahasa Indonesia, dia bernama Rosi, dan satunya kurang begitu paham dengan
bahasa kami. Setelah cukup kami berkenalan, aku memberikan flashdisk kepada Pak
Agus dan memasukan kedalam port USB Tv dengan ukuran 29 Inch disampingnya,
untuk menyaksikan bersama-sama, menonton acara yang telah direkam oleh ponsel.
Amatir sih, tapi cukup untuk mewakili keseluruhan acara karena aku berhasil
mendokumentasikan seluruh acara terutama saat pembacaan puisi hingga selesai.
Ada banyak yang disampaikan oleh Pak Agus terutama filosofi
acara dalam bahasa Portugis kepada mereka. Baik dari sejarahnya, alasan
diselenggarakannya acara tersebut, pakaian, isi puisi dan lainnya. Aku yang
merekam pun tidak terlalu banyak tahu akan pesan yang disampaikan, baru malam
itu aku tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Foto dan video berdurasi 40 menit itu ditayangkan kepada
kami, dikhususkan kepada 2 orang tamunya yang baru tiba dari Portugis. Ditengah
dialog mereka dalam bahasa Portugis, aku hanya tersenyum dan menyimak diskusi
mereka. Aku hanya seorang dokumenter pada saat itu.
Selesai video tersebut di tayangkan, aku menemani Aziz yang
masih berbincang-bincang sambil ngopi bersama tuan rumah. Suara dari dawai
gitar yang dinyanyikan oleh vocalist band kami, menambah merdu suasana ruangan
keluarga pada malam itu, sekaligus membangunkan rekannya yang lain yang sejak
awal tidur.
Aku sempat ditawari makan oleh tuan rumah, tapi aku menolak
karena jam biologisku belum menerima asupan pada pukul setengah 2 malam, waktu
dimana biasanya aku tertidur pulas. Ibu memintaku untuk menginap dirumah teman
jika sekiranya aku pulang larut karena pintu sudah dikunci. Sambil menyesuaikan,
aku ngobrol dengan Rosi yang bisa berbahasa Indonesia. Sambil terkantuk-kantuk,
aku, Aziz dan Rosi melakukan diskusi yang amat seru. Pertama kalinya aku
berkenalan, berteman dan mendengarkan cerita dari orang yang sudah biasa
melakukan perjalanan keluar negeri. Aku menyimak semampuku.
***
Rosi, usianya 3 tahun diatasku. Dia adalah orang Timor-Timur
yang saat itu sedang beristirahat dirumah Pamannya (pemilik rumah). Rosi
berencana menikah dengan seorang gadis orang Cianjur dalam waktu dekat, itu
sebabnya ia berada di Bogor. Garis takdir yang tidak pernah aku duga
sebelumnya, sehingga kami bisa berkumpul pada malam itu.
Pekerjaannya yaitu sebagai pengemas daging di London,
Inggris. Disana ia tinggal bersama pamannya. Rosi mengemas daging mentah untuk
dipasarkan ke swalayan-swalayan di Inggris. Jam kerja disana 12 jam, pagi atau
malam, sesuai sift yang ditentukan. Penghasilannya? Mau tahu?
Sehari ia diberi upah sampai 500 Ps (poundsterling) atau
setara 800ribu sampai 1juta rupiah di Indonesia. Wow… sehingga penghasilannya
sebulan bisa mencapai 25 juta rupiah. Itu sebabnya sangat disayangkan jika satu
hari tidak masuk karena mangkir karena upahnya yang besar. Ketika tubuh merasa
tidak enak/sakit, izin bekerja adalah salah satu upaya yang direkomendasikan
ujar Rosi.
Pada perbincangan kami, ia menawari kami sebungkus rokok yang
tidak aku ketahui namanya. Aziz dan Pak Agus sangat senang karena bisa
menikmati rokok asli orang Inggris yang konon katanya rasanya seperti Marlboro.
Aku sih hanya melihat saja. Bungkusnya sama seperti bungkus rokok pada umumnya,
kotak kecil dengan isi 12-16 batang, dan terdapat tabel peringatan bahaya
merokok, dalam bahasa Rusia.
Diskusi terus berlanjut, Rosi menceritakan bahwa rokok orang
Indonesia begitu kuat dan pekat. Menghisap 2-3 batang rokok Indonesia, bisa
membuat orang Inggris mabuk dan mual. Entah apa yang membedakan, begitulah
ungkap Rosi yang pernah ia lakukan terhadap teman-temannya. Disamping itu, Rosi
selalu membeli 1 pack rokok Indonesia yang ia anggap murah untuk dibagikan
kepada teman-temannya disana. Hanya membagikan sekedar oleh-oleh. Jika ia jual,
bisa berkemungkinan besar ia menjual barang illegal meskipun keuntungannya
sangat menjanjikan, beli di Indonesia dengan harga 20.000 rupiah, bisa dijual
mencapai 200.000 rupiah perbungkus. Tapi tidak ia lakukan karena Rosi memahami
aturan/hukum yang berlaku.
Rosi yang kondisinya baru pulang dari daerah Ekalokasari
(jalan-jalan dengan sepeda motor), melihat banci orang Indonesia begitu cantik.
Dandanannya benar-benar total sehingga tidak terlihat seperti pria. Berbeda dengan
banci yang berada di Inggris, mereka berbadan kekar, memakai pakaian ketat dan
berpasangan dengan pasangan sejenis. Bahkan disana terdapat daerah khusus banci
dengan komunitas mereka yang diperbolehkan oleh negara. Masing-masing dari
mereka membawa bendera tersendiri dengan motif pelangi (dikenal LGBT). Jika
berkesampatan ke Inggris, jangan sekali-kali kita mengenal mereka. Mengerikan.
Banyak hal yang ia bandingkan antara di Bogor dengan di
London. Salah satu makanan, terutama buah yang menurutnya sangat enak adalah
durian (ketika berkesempatan makan es durian di Bogor). Rasanya begitu nikmat. Sangat
jarang ditemukan di Inggris buah bernama durian. Sekalipun ada pada musim
tertentu oleh penjual buah, harga sangat sangat mahal. Perkilogramnya mencapai
1 juta rupiah. Itu pun dihitung dengan bijinya yang besar dan kulitnya yang
menempel pada kemasan durian. Daging buahnya, mungkin hanya sedikit. Beruntung
bisa mencicipi durian di Bogor. Buah lain yang membuatnya penasaran adalah
rambutan, saat ini belum berkesempatan karena belum musimnya.
Hobinya terhadap sepak bola, ia realisasikan langsung ke
tempat Barcelona, club sepak bola favoritnya. Aziz yang nge-fans juga dengan
Barca, sangat terkejut dibuatnya karena Rosi pernah ke museum Barca dan staion
Camp-Nou. Banyak hal yang Rosi ceritakan tentang bola. Bukti cerita itu, ia
sertakan dengan foto-foto kunjungannya dari ponselnya. Begitu surprise dimata kami.
Kegemaran lain yang ia tekuni adalah musik. Tidak berbeda
dengan aku dan Aziz, ternyata Rosi juga memiliki band bersama teman-temannya. Band
indie yang Rosi garap dengan rekannya sudah membuat hampir 70 lagu orisinil. Untuk
saat ini, band mereka vakum karena sedang berada dinegara yang berbeda-beda.
Rosi memperlihatkan lagu yang dibuatnya dari chanel youtube
miliknya. Berkisahkan tentang cinta. Menarik. Ia senang bergelut didunia musik
dan membuat lagu. Ia juga meminta saran, tempat membeli perlengkapan musik, untuk
membeli senar gitar nilon karena di kampung halamannya sangat jarang ditemukan,
untuk gitarnya yang sudah tidak bersenar.
Rosi menginginkan lagu-lagu ciptaannya bisa diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia, yang pasti harus memiliki nuansa puitis ketika
ditranslate ke Indonesia. Ia juga bercita-cita memiliki studio rekaman lagu,
minimal dengan metode midi (computer), untuk mengembangkan minatnya didunia
musik.
***
Diskusi kami dengan Rosi terus berlanjut hingga akhirnya aku
tertidur dilantai karena tidak kuat dengan rasa kantuk yang membebani kelopak
mata. Aziz dan Rosi yang masih kuat begadang, melanjutkan diskusi sambil
bermain PS3. Dalam diskusi mereka, salah satunya membahas mengenai cara-cara penguasaan
teknik vocal. Setelah itu gelap.
Pukul 05.00 aku terbangun dan langsung pamit untuk pulang. Aku
dan Aziz pamit kepada seluruh orang yang berada ditempat itu. Terutama aku yang
harus ke sekolah untuk mengajar.
Sungguh malam itu merupakan pengalaman dan diskusi yang tidak
pernah terbayangkan sebelumnya. Cerita yang tidak hanya sebatas diskusi
melainkan sebuah open mind perbandingan untuk melihat dunia yang luas, maklum,
seumur hidup saya hanya tahu Bogor dan Tanah Baru, tidak lebih.
Hati-hati dijalan, sampai ketemu lagi nanti Rosi dan
kawan-kawan. Senang berkenalan denganmu.
Salam
Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar