Mabit II SDM Salam
Rabu-Kamis, 28-29 Mei 2014 @Ibnu Hajar, Katulampa
Oleh: Pak Ridwan (salah satu penggagas SAB)
“Asal-muasal berdirinya Sekolah Alam Bogor”
Siapakah penggagas Sekolah Alam
Bogor? Apa itu Yayasan Progress Insani? Seringkali kita mendengar nama “Pak
Ridwan” diantara nama pak Husnan dan pak Agus, namun kehadirannya hampir tidak
pernah terlihat diantara kita. Siapakah beliau? Yuk kita simak asal-muasal
berdirinya SAB menurut versi dari pak Ridwan, rekan-sahabat sekaligus keluarga
kita di sini yang kehadirannya sangat jarang ditemui, khususon untuk SDM baru,
ayo mengenal lebih dekat! Perjalanan “Mabit ke-2” pun dimulai…
***
Apa yang sudah teman-teman
lakukan disekolah (lapangan flamboyan) sebelum berangkat ke Ibnu Hajar? Bu
Diena membagi seluruh SDM nya membagi 2 kelompok dengan kriteria “siapa saja
yang ikut acara mabit dan yang tidak ikut acara mabit.”
Seperti sebuah kisah dalam
sebuah kampung yang pemimpinnya meminta kepada seluruh warganya untuk berkumpul
dan dipisahkan atas dasar, “siapa saja yang takut istri (disebelah kiri) dan
siapa saja yang berani terhadap istrinya (sebelah kanan).” Ternyata semua ayah
dan suami berpindah tempat kesebelah kiri (karena fakta tersebut), hanya ada 1
orang yang berada diposisi sebelah kanan. Setelah diinterogasi, ternyata alasan
keberaniannya tersebut adalah karena “disuruh istri.” Hahahaa :D
Pelajaran yang dapat kita ambil dari warga
kampung tadi yaitu memberikan pesan secara tersirat agar tidak ada perasaan
terpaksa saat kita berada disini dan saat ini, yaitu sekolah Ibnu Hajar. Pada
dasarnya sekolah samasekali tidak pernah memaksa kehadiran teman-teman, hanya
sebuah ide-rencana dan langkah terhadap program baru agar kita lebih dekat satu
sama lain.
Berkerja sebagai PNS dengan
seragam yang sebenarnya ‘berat’ untuk digunakan, disamping bahannya yang tidak
nyaman ada tanggung jawab yang diemban oleh kami untuk mengayomi masyarakat.
Sebenarnya kami di gaji oleh negara, akan tetapi karena yang punya negara
adalah rakyat (secara demokrasi), maka secara tidak langsung kami digaji oleh
rakyat. Berharap cepat sampai pada masa pensiun karena kesibukkan pekerjaan
selalu membatasi ruang gerak termasuk tatap muka dengan Sekolah Alam Bogor,
namun harus tetap bertahan sampai kurang lebih 4 tahun lagi untuk pensiun.
Sebagai contoh, kalau pegawai negeri seperti
beliau naik angkot, selalu dipojokkan oleh supir dan penumpang lain dengan
berbagai serangan yang bertubi-tubi. Mulai dari kerusakan jalan (dulu jalan
Tanah Baru belum dibeton seperti sekarang ini), kesejahteraan rakyat,
perbandingan pekerjaan dengan upah-tunjangannya, pembahasan tentang tata kota
serta visi-misi pemerintah, dan yang lainnya. Geram rasanya, seolah ada yang
kurang dalam jiwa manusia yang selalu membanding-bandingkan, yaitu ‘rasa syukur.’
***
Berbicara soal ‘mabit,’ istilah
yang biasa digunakan saat pegi Haji seperti mabit di Mina, Nibar dan lainnya,
kini sudah tidak asing lagi untuk kita gunakan dalam keperluan/acara seperti
ini. (semoga kita semua dapat pergi berhaji dan merasakan mabit disana, amiin).
Kembali ke SAB dan ikut
berkumpul kembali dengan teman-teman disini, membuat saya terbayang akan masa lalu.
Tentang jerih-payahnya mendirikan sekolah, tentang hal-hal baru yang
dimunculkan, tentang keceriaan anak-anak termasuk masalah/persoalan berbagai
pihak terhadap sekolah. Saking dinamisnya, kondisi SAB selalu “riweuh wae.” Tidak
ada kata yang tepat kecuali ‘fluktuatif’ (grafik naik-turun).
Salah satu fakta yang perlu
diperhatikan tentang persoalan sekolah, yaitu terkait kesejahteraan pendidik
yang menjadi poin dilematis setiap tahunnya. Entahlah faktor apa yang
membuatnya seperti ini, namun saya meyakini seleksi alam akan terus berlaku
dimanapun kita berada. Termasuk teman-teman disini, ada yang baru 2 hari
kedatangannya bahkan ada juga yang sudah sampai 10 tahun istiqomah di SAB, luar
biasa ‘bukan?
Sebelum sekolah alam berada di
Tanah Baru, dulu (sekitar 11 tahun yang lalu) Yayasan bekerjasama dengan
investor dan menyewa lahan seluas 5.000 meter persegi ditengah-tengah keramaian
kota, dikenal dengan nama “Lembah Parigi.” Namun karena berbagai alasan,
sekolah kami dipindahkan ke tempat sewaan lain, yaitu di Tanah Baru. Beruntung pak
Husnan segera mendapatkan tempat tersebut dalam waktu yang singkat.
Seiring bergantinya tempat, juga
bertepatan dengan terkenalnya nama Sekolah Alam Indonesia (di Ciganjur waktu
itu), kami pun mengganti nama menjadi Sekolah Alam Bogor. Khawatir kejadian
yang sama terulang kembali, kami segera mengupayakan (padahal dana yang
tersedia masih minim), untuk membeli tanah menjadi milik yayasan (ingat, dalam
hal ini bukan perorangan). Segala pemasukan baik darimana pun datangnya (yang
pasti halal), dipersiapkan untuk membeli lahan.
Awalnya hanya 300 – 500 ribu
rupiah tiap meter persegi. Kemudian harga tersebut melejit setelah dibangun
akses jalan tol menjadi 1,2 juta rupiah per meter persegi. Semangat dan lelah
sudah mendarah daging, yang akhirnya tanah dibagian barat (kelas 6) berhasil
dibeli atas nama yayasan.
“Milik siapa lahan ini pak?
Dalam hitung-hitungan perusahaan harus ada pihak yang bertanggungjawab (berupa
saham) terhadap ini. Bagaimana kalau pak Husnan memegang saham mayoritas dan
saya saham minoritas, agar kedepannya status sekolah ini lebih jelas.” Ucap pak
Ridwan, bertanya kepada pak Husnan terkait kepemilikan lahan tersebut.
“Tanah ini seluruhnya bukan
milik kita atau perorangan, bukan juga milik yayasan melainkan tanah milik
umat. Yayasan hanya sebagai pengurus terhadap tanah ini nantinya.” Jawab pak Husnan dengan nada yang yakin, dalam
ceritanya.
Dengan mudahnya pak Husnan
berkata demikian, meskipun begitu kekhawatiran
masih ada karena beliau menyampaikan ini tanah umat, mungkin semua orang akan
mengakui tanah tersebut dan mengaku-ngaku kepemilikannya. Sepakat kami menerima
argumen tersebut.
Setelah saya pelajari, sekolah
ini merupakan bisnis sosial yang harapannya bukan ‘sok-sial,’ dimana orang-orang
nantinya bekerja dan digaji disini (Alhamdulillah terbukti dan mampu bertahan
sampai 10 tahun ini). Sekolah yang awalnya ‘kecil’ ini, mulai tumbuh dan
berkembang menjadi sekolah yang kami harapkan, mampu menampung lebih dari 100
guru disini, sebagai bentuk apresiasi nyata, berkat kerjasama teman-teman juga
disini.
Ibarat
sebuah Negara pak Agus adalah seorang ideolog, pak Husnan sebagai produser dan
pendobrak seluruh gagasan pak Agus. saya katakan bahwa beliau (pak Husnan)
adalah invisibleman, karena
keberadaannya tidak pernah terlihat (termasuk saat diboncengi sepeda motor).
*qidd
Selama proses tersebut
berlangsung, posisi yang telah kami pegang sangat beragam. Direktur, menejer,
kepala pengelola atau apapun sebutannya (karena kondisi tertentu, tidak sedikit
yang meledek). Hal ini dimaksudkan agar status individu disekolah lebih jelas
terutama terkait pembagian jobdesc
dengan yang lain.
Selain SAB, ada juga tempat lain
yang sengaja dibuat kecil, lahannya kecil karena hanya untuk menampung anak-anak
kecil. Yap, sekolah itu bernama ‘Eksploreee.’ Melanjutkan asa dan cita-cita
yang telah dituliskan, langkah ini pun dilakukan dengan konsep yang sama dengan
SAB. Belajar dari pengalaman, sekolah tingkat PG & TK ini lebih cepat
dibangun dari yang telah diperkirakan. Dibantu oleh sepasang suami-istri yang
menjadi investor atas berdirinya Eksploreee.
Pengalaman bekerja pada tahun
90’an advertisement agency di Jakarta
banyak memberikan pelajaran, terutama kejujuran. Misal perlakuan terhadap
produk, kita harus memberikan kesan positif seolah sudah memakai selama 10
tahun, padahal produk tersebut baru dibuat ketika 1 minggu yang lalu, ‘kan gak
lucu. Bergelut dibidang pendidikan memang cita-cita namun seperti mimpi jadinya
kalau yang petik menjadi seperti ini.
Yayasan ini, dimulai dari
kegiatan sosial terhadap anak-anak jalanan, sehingga terbesit sebuah unit
usaha-sekolah untuk memajukan kegiatan yang ada. Lembah Parigi merupakan titik
awal perjalanan kami yang tidak pernah kami lupakan kenangannya.
Saat di Lembah Parigi,
kondisinya sangat-sangat berbeda dari sekolah konvensional lainnya. Sekolah,
pemancingan, restoran, aula pernikahan bergabung menjadi satu. Hampir semua
anak nyemplung pada kolam yang banyak tersedia disana, sehingga kami
menyebutnya “belajar di sakolah alam kudu di teuleum heula.” Kami sebagai guru
mengatakan bahwa itu tidak bahaya, karena sebagian dari pembelajaran. Sekalipun
sudah ditutup dengan net badminton, justru malah menimbulkan rasa penasaran
anak, sehingga kami cabut kembali.
Berharap mendapatkan 20 murid
yang mendaftar disemester pertama dan lucunya adalah rekrutmen terhadap orang
tua dilakukan dengan cara ‘unik.’
“pak, sekolah kami membutuhkan 1
anak lagi, sudah ada 19 yang daftar. Adapun konsepnya… lingkungannya…
bagaimana?” ucap pak Husnan & pak Agus. (mungkin dilakukan juga ke seluruh
orang tua yang lain). hhe
Membuat saya menjadi sangat
penasaran dan hendak bersegera mendaftar, yang ternyata padahal mah saya adalah
pendaftar pertama di Lembah Parigi. Semua orang tua percaya dengan senyumannya
pak Husnan yang sangat manis, citranya lebih hebat dari SBY saat ini. Adapun pak
Agus dengan kacamata yang setengah turun ke pipi, terlihat seperti professor yang
sangat menjanjikan. Memang demikian adanya, saya akui kehebatan mereka.
Perusahaan swasta membutuhkan
waktu 15 tahun untuk mencapai tingkat seperti ini, sedangkan SAB hanya 7 tahun.
Perkembangan yang lebih cepat dengan cara yang luar biasa. Tidak heran kalau
sekolah ini menjadi tolok ukur dan tempat study dari sekolah lain.
Bangunan SM yang kini berdiri
kokoh dibawah perumahan Al-Hasanah, mempunyai cerita yang tak kalah hebohnya. Setelah
pondasi dibuat, ternyata kami menerima demo dari warga sekitar. Usut-punya usut
dan berhubung suasana semakin panas, pemilik tanah akhirnya dapat menukar
dengan lahan dekat sungai (yang sekarang). Banyak kenalan, banyak manfaat.
Menurut teori Kubik Leadership,
adanya kecenderungan mengingkan sesuatu (to have) dan menjadi sesuatu (to be)
adalah prinsip awal agar kita sukses. Yang dilakukan oleh pak Husnan dan pak
Agus adalah ‘to be’ dahulu, kemudian ‘to have.’ Dibuat dulu dan dibuktikan
dulu, fasilitas dan keinginan lain secara tidak langsung akan menariknya secara
otomatis. Mereka berdua sudah memiliki rumah atas segala upayanya meskipun
dalam cicilan. Jujurlah, siapa diantara kita yang tidak punya hutang. Apapun yang
orang dapat, harus kita syukuri pula.
Terkait kesejahteraan, saat ini
pembangunan sekolah sudah tutup buku, bukan karena tidak ingin, akan tetapi
target saat ini adalah “bagaimana caranya membuat kesejahteraan untuk semua
pihak?” Insyaa Allah selalu ada jalannya untuk ini.
Saat ini, kami masih mencari
siapa yang berhak dan paling cocok diamanahi untuk melanjutkan tugas seperti
mereka. Menggantikan perjuangan pak Husnan dan pak Agus kedepannya dengan
segala persiapannya, tanpa alasan ‘tapi.’ Guru-guru lah yang mempunyai
kesempatan itu.
Terus beribadah apapun
bentuknya, berlomba-lombalah kita dalam kebaikan. Seorang guru yang telah lama
mengabdi dipendidikan sampai usia 72 tahun, memiliki tanah luas dan beberapa
hektar lahan sawit, hanya karena keberkahan menjadi seorang guru.
Sangat indah melihat perjalanan
pak Husnan dan pak Agus yang telah memberikan banyak sekali manfaat, termasuk
kepada saya. Berkat mereka, saat di Sengkawang, saat bertemu dengan pimpinan
bernama pak Yusuf (diawal orangnya cuek dan kurang perhatian-nyebelin). Akan tetapi,
sikap dan keadaan orang tersebut tiba-tiba ramah setelah mengetahui jabatan pak
Ridwan, bahkan dianggap sebagai ‘sekda dari Bogor’ (orang paling sakti
dipemerintahan) yang melakukan ‘visit to Indonesia’. Derajat seolah naik dan
itu semua berkat kedekatan kami terhadap manfaat yang dilakukan mereka.
·
Kepada siapa kita meminta tolong yaitu kepada
orang yang keyakinannya lebih dekat dengan Allah swt, yang penting dapat
bekerja dapat apa yang kira-kira bermanfaat.
·
Jangan jadikan diri kita sebagai buruh-orang
yang mentalnya selalu dipekerjakan, akan tetapi ambillah hikmah dari kisah ini.
Semoga bermanfaat