Beberapa waktu lalu,
ketika saya masih sekolah (tepatnya kelas 2 SMP), Bapa (sebutan kami untuk
'ayah' dalam bahasa Sunda) pernah memberitahukan satu hal yang sampai sekarang
masih saya ingat. Saat itu kami sedang mengerjakan PR dirumah, duduk berdua
secara lesehan dengan ditemani beberapa makanan ringan dan air minum diruang
tengah, Bapa menanyakan sesuatu kepada saya yang sebelumnya belum pernah
diberikan
“Dhin, kamu tahu apa
saja syarat untuk menjadi laki - laki?” Tanya Bapa secara spontan.
Entah apa maksud
yang diutarakannya, karena sejujurnya saya belum paham alasan Bapa bertanya
seperti itu. Rasa penasaran datang membayangi, seketika saya tanya kembali
kepada Bapa dengan nada spontan,
“memang ada Pa? Bukankah
sekarang ini Dhinar sudah jadi laki - laki?"
(Bapa tersenyum
kecil kepada saya) "hmm, jadi begini Nak, ada tiga syarat yang harus kamu
punya untuk menghadapi masa remaja saat ini dan ketika dewasa nanti, kamu harus
menguasai setidaknya salah satu dari tiga poin ini."
(Saya mengerutkan
kening) "apa saja itu Pa?"
"Pertama, kamu
harus bisa memainkan minimal satu alat musik."
"Kenapa harus
alat musik Pa?"
"Dengan
memainkan alat musik, itu pertanda kalau kamu menyukai 'kesenian'. Tidak hanya
sebagai penikmat, tetapi berperan langsung sebagai pelaku seni."
"Emangnya ada
apa dengan seni Pa? Apa hubungannya dengan laki - laki?"
"Begini nak,
seni dapat membuat kita lebih memahami arti hidup dan membuat langkah ini lebih
bermakna, kita dapat melihat segala hal dari sudut pandang yang indah.
Meluapkan emosi dan menghindari sifat keegoisan. Menjalani hidup dengan seni, dapat
membuat seseorang menjadi humoris, romantis dan ekspresif bahkan lebih peka
terhadap sesuatu."
Saya mengangguk
dengan sedikit terpaksa, karena beberapa penjelasan yang disampaikan terlalu
rumit untuk dipahami.
"Oh begitu, penjelasan
Bapa hebat, keren! Lantas apa yang selanjutnya?"
"Kedua, sebagai
laki-laki kita harus bisa mengendarai mobil atau motor, minimal sepeda."
"..."
(bingung dan berpikir dengan argument Bapa yang kedua)
"Laki-laki itu
berjiwa bebas, berbeda dengan perempuan. Kita dengan mudah melangkah sejauh
apapun yang kita inginkan. Penampilan yang simpel dan gerak tubuh yang tak
terbatas membuat laki-laki jauh lebih berenergi dibandingkan perempuan. Sejarah
mencatat bahwa laki-laki mendominasi ekspedisi dunia. Christophus Colombus,
Bartholomeuz Diaz, Marcopolo, dll. mereka semua bergender laki-laki. Jelajah
bumi melalui jalur pelayaran/laut menggunakan kapal dengan layar yang
terbentang diatasnya dipimpin oleh kaum laki-laki. Anak buahnya pun merupakan
kumpulan pria tangguh dalam menghadapi lautan/samudra luas demi tercapainya
cita-cita.
Rasulullah saw. juga menggunakan
pemuda laki-laki dalam perangnya membela Islam. Pasukan pemanah, pemegang
tombak, ahli pedang dan penunggang kuda mereka ada prajurit yang tangguh.
Adapun perempuan hanya sebatas membantu dalam bidang tertentu, misalnya
konsumsi atau sarana prasarana lain yang mudah dibawa. Seorang 'pria' (laki-laki
dewasa) harus bisa menuntun keluarganya dalam menghadapi hidup. Karena
kelemahan mereka, kita yang dituntut harus melindungi mereka dan memberikan
haknya. Dengan berkendara, kita bisa mengantarkan perempuan dan orang lain keliling dunia."
"Jadi intinya,
dengan membawa kendaraan, kita bisa bercengkrama sekaligus melindungi perempuan
dan orang lain? Lantas apa yang terakhir?"
"Yap betul Dhin,
meskipun banyak diluar sana perempuan yang tangguh namun secara hakiki,
laki-laki lah yang lebih berhak mengembannya. Dan yang Ketiga itu adalah
keimanan."
"Keimanan? Bukan
hal yang lain Pa? Seperti kecerdasan atau hubungan dengan orang lain
(sosialisasi)?"
"Keimanan
adalah tameng juga prinsip yang harus dipegang teguh oleh semua manusia. Orang
yang beriman memahami bahwa menuntut ilmu hukumnya wajib, maka ia akan belajar
tanpa batasan waktu. Logikanya, dengan belajar kita mendapatkan ilmu dan dengan
ilmu kita akan lebih dipandang oleh orang banyak, ketenaran pun secara otomatis
akan mengikuti. Disamping itu, kita sebagai laki-laki akan dituntut mencari
nafkah ketika dewasa. Ilmu yang kita miliki akan membawa arah kita, langkah
kemana kita akan pergi. Apalagi jika kita ahli pada bidang tertentu, justru
pekerjaan yang akan mencari kita.
Adapun tambahannya
keimanan adalah jembatan yang menghubungkan dunia dengan akhirat, agar kita
tidak melulu terlena dengan dunia yang fana ini. Laki-laki berperan sebagai
kepala keluarga, ibarat sebuat kapal besar, kita adalah nahkodanya. Bukankah
tujuan akhir semua manusia itu adalah akhirat? Jangan sampai kita menganggap
semua hal benar karena rendahnya keimanan kita. Jadi, keimanan ini sangat kita
butuhkan dalam membatasi hal tertentu yang sekiranya kurang benar."
"Oh begitu Pa,
sekarang saya paham. Hmm, lantas kenapa Bapa jarang sekali terlihat memainkan
alat musik? Hanya memutar kaset lagu-lagu Jawa dan musik jadul era 70-an. Kenapa
tidak bisa mengendarai sepeda motor? Bisanya cuma dibonceng, sekalipun
kendaraan tersebut ada didalam rumah, tidak ada keinginan untuk belajar. Serta ibadah
pun tak serajin orang lain." Tanya saya mengumpan dan mempertanyakan fakta
yang ada.
"Perlu kamu
ketahui Nak, Bapa ingin sekali melihat kamu lebih baik dari Bapa sekarang. Seni,
kendaraan dan keimanan hanyalah sebagian kecil dari semua yang ingin Bapa
sampaikan, selebihnya kamu bisa mencari sendiri."
Ternyata cakupannya
begitu luas, mungkin itu hanya sebagian kecil yang diutarakan oleh Bapa kepada
saya. Mendengar itu semua, (waktu itu) saya tertawa lepas seolah mendapat
pencerahan baru. Kupeluk erat tubuhnya yang gendut dan berbagi tawa karena
kepolosan saya dalam menerima ilmu tersebut. Bersamaan dengan selesainya
obrolan kami, PR saya pun selesai dikerjakan.
Saat menulis ini
saya tak kuasa menahan air mata mengingat kejadian itu, saat dimana rekaman
memori peristiwa tersebut diputar ulang. Sungguh begitu amat terasa ketika
beliau sudah tidak ada. Terimakasih untuk wasiatnya Pa, kini saya sudah
berkembang menjadi laki-laki dewasa dan perlahan memahami maksud persyaratan tersebut.
Alhamdulillah saat ini saya dapat melakukan ketiga pesan itu dibandingkan waktu
dulu. Memainkan alat musik, bisa mengendarai sepeda motor dan insyaa Allah
istiqomah menjaga keimanan dalam menjalani kehidupan ini, tetapi engkau malah
tak sempat melihat semuanya.
Terimakasih (alm.) Pa Tatang untuk
semuanya…
“Menangis saat menulis pengalaman ini”
Bogor, 22 Januari 2014
Salam kangen, putra bungsumu
Muhammad Dhinar Zulfiqar