Senin, 09 Desember 2013

Bagaimana cara mengembalikan senyumnya?



BERITA (Berbagi ilmu dan cerita) LSC yang dibawakan oleh bu Inda bulan September lalu mengisahkan tentang perjalanan dan seluk – beluk rumitnya menjadi sosok “ibu.” Referensi yang didapat dari berbagai buku – buku serta artikel yang bersinggungan dengan ‘ibu’ yang telah dirangkum oleh bu Inda, diceritakan dengan penuh khidmat. Mulai dari pengalaman pribadi, kisah perjuangan seorang ibu dari seluruh dunia, termasuk pendapat atau penilaian setiap guru terhadap ibunya masing – masing.
Setelah mendengarkan kisah – kisah yang sangat mengharukan terkait seseorang yang pastinya sangat disayangi oleh semua orang ini, siapa lagi kalau bukan ‘ibu,’ kami (SDM LSC/peserta Berita) menyaksikan video berdurasi 5 menit tentang kebaikan seorang ibu. Film pendek yang tokohnya diperankan dari negeri timur tersebut menceritakan tentang kebajikan seorang ibu kepada anaknya namun tidak diperlakukan dengan baik oleh anaknya sendiri. Cerita dari film tersebut kurang lebih seperti ini,
Seorang ibu yang awalnya diantarkan oleh anaknya yang berbadan besar (usianya sekitar 30 tahunan), dibiarkan duduk dikursi taman pinggir jalan. Setelah meninggalkan pesan dari sebuah kertas, anak tersebut meninggalkan ibunya sampai waktu yang tidak ditentukan. Seseorang pemuda yang secara tidak langsung mengamati kegiatan ibu dan anak tersebut dari apartemennya merasa biasa saja karena suasana dikursi taman tersebut memang seperti itu adanya sehingga hanya memperhatikan dari jarak yang cukup jauh sampai ia berangkat kerja dipagi hari. Ibu tersebut tidak tahu harus berbuat apa dilingkungan yang asing tersebut, sesekali dia memberikan permen kepada anak – anak yang telah dihadapannya. Tentu saja secara spontan mendapatkan senyum manis dan ucapan terimakasih dari orang tua mereka. Beberapa orang asing yang lewat dihadapannya dimintakan tolong untuk diajak berbincang – bincang terkait amanat anaknya untuk membuka pesan yang dipegangnya tersebut, namun tidak ada satu pun yang bersedia menghampirinya. Terus dan terus ibu itu menunggu sambil menghadap sebuah danau yang terletak ditengah kota untuk mengupas rasa penasarannya serta mencari kebenaran atas apa yang telah terjadi dengannya.  
Sore hari menjelang malam, pemuda yang tempat tinggalnya disebrang kursi taman tersebut pulang dari kantornya. Sorot matanya tertuju kepada seorang ibu yang posisi duduknya belum juga berubah sejak pagi. Dari dalam mobil, pandangannya tertuju pada sosok tersebut, melihat seorang ibu (yang dari pagi) duduk sendiri tanpa ditemani siapa pun. Rasa penasaran dan empati pun muncul seketika pemuda tersebut menghampiri ibu berpakaian hitam dan menanyakan kabarnya. Sang ibu tersebut merasa senang karena ada seseorang yang akhirnya mau menemani dirinya setelah satu hari penuh duduk menghadap kolam dipinggir jalan.
Perlahan sang ibu menjelaskan keadaannya (dialog berbahasa arab dengan translate bahasa inggris) bahwa dirinya merasa senang sudah diajak oleh anaknya bermain dikota besar, tempat anaknya tinggal dengan istri dan anak – anaknya. Bahkan dirinya tidak pernah dipertemukan dengan menantu dan cucunya selama hidup dan tinggal didesa, hanya kiriman uang yang dia terima selama berpisah dengan anak tunggalnya tersebut. Dengan rasa bangga dan bahagia sang ibu menceritakan kisah hidup dirinya dan anaknya selama masih kecil. Dia pun dengan sengaja menyiapkan kalung emas dengan liontin yang ukurannya cukup besar nan indah untuk diberikan kepada menantunya sebagai hadiah. Selalu berbaik sangka terhadap apa – apa yang sudah dilakukan oleh anaknya yang telah lama meninggalkannya dan hidup dikota.
Setelah timbul rasa saling percaya, ibu tersebut menganggap pemuda yang berada dihadapannya adalah orang baik, akhirnya sang ibu memberikan sobekan kertas kepada pemuda disebelahnya itu untuk dibacakan. Pesan yang diberikan anak kepada ibunya agar tidak dibaca dan dibuka oleh dirinya sendiri, bahkan harus diberikan kepada sembarang orang yang mengetahui keadaan dirinya. Pemuda tersebutlah yang akhirnya membacakan pesan tersebut dengan perasaan yang bercampur-aduk.
Ketika ia mulai membacanya didalam hati, tiba – tiba matanya terbelalak. Hatinya merasa terpukul atas apa yang telah terjadi dihadapannya ini. Ternyata isi pesan tersebut tidak lain adalah pernyataan untuk membuang seorang ibu secara tidak langsung. Pesan kusam karena genggaman seorang ibu yang terus dijaganya dari pagi ternyata bertuliskan, “siapa pun yang menemukan ibu ini, tolong titipkan dipanti jompo untuk diurusi.” Raut wajah mereka seolah tidak terima dengan kejadian seperti ini tentu dengan penuh rasa kecewa dan amarah yang terlihat dari sikap mereka terhadap isi pesan tersebut. Itulah akhir dari tayangan tersebut yang menutup layar video dengan beberapa pesan yang bertuliskan bahasa arab.
Tidak sedikit dari kami meneteskan air mata karena terlarut dalam kesedihan film pendek tersebut. Hingga tiba sesi yang terakhir, bu Inda meminta kami menuliskan beberapa cara agar dapat ‘mengembalikan senyum ibu’ kita masing – masing disebuah kertas. Adapun beberapa poin yang saya tulis yaitu:
1.       Menyempurnakan Islamnya ‘pergi haji bersama dengannya’
2.       Mengabulkan/melaksanakan permintaannya semaksimal mungkin (baik materil maupun non materil) agar bahagia hatinya
3.       Mengajaknya ke tempat wisata/hiburan yang belum pernah dijamahnya
4.       Membuat saya pribadi dan kakak saya sukses serta berprestasi agar kami menjadi anak kebanggaannya (dalam bidang apapun)
5.       Menikahi istri yang cantik, cerdas, sholihah, kaya raya (tentatif), pandai, patuh dan selalu sependapat dengan ibu saya agar bisa menjadi teman curhat (ketika saya pergi bekerja). Disamping menantu sekaligus menjadi ‘anak perempuan angkat’ yang selalu diimpikannya (karena selama ini ibuku hanya memiliki dua anak laki – laki, ingin rasanya menghadirkan seorang perempuan yang akrab dengannya)

Hanya ini yang dapat saya sampaikan, senang rasanya bisa berbagi dengan orang lain, semoga dapat bermanfaat dalam menjalankan kehidupan kita masing – masing. Nah, bagaimana dengan cara anda untuk ‘mengembalikan senyumnya?’ :) tulis juga yaaaaa..!

Minggu, 08 Desember 2013

Outbond Kampung Salam 2013 @TK Agriananda IPB



Sudah lama saya menjadwalkan hari sabtu akhir pekan ini untuk pergi ke Jakarta, mengunjungi salah satu kenalan saya yang, bapak Jonru. Tetapi takdir berkata lain, agenda tersebut terhapuskan oleh tawaran tim outbond Kampung Salam (pada hari senin, 25 November 2013) untuk menjadi salah satu bagian anggota penjaga pos permainan outbond sekaligus MC yang memandu acara di TK Agriananda IPB, Dramaga Bogor. Awalnya saya sempat dilema namun setelah meminta pendapat dari ibu (seseorang yang menjadi tempat curhat dalam kehidupan saya dan selalu saya dengar masukannya), akhirnya saya putuskan untuk ikut bergabung dengan tim outbond dengan pertimbangan ‘mungkin belum waktunya saya ke Jakarta bulan ini’ (sejujurnya saya sudah tidak mempunyai dana diakhir bulan ini untuk keperluan saya yang lain). Pembatalan jadwal segera saya konfirmasikan dengan santun kepada penulis ternama tersebut. Alhamdulillah beliau memakluminya, karena sejujurnya saya sangat senang sekali menggeluti dunia MC apalagi bersinggungan dengan anak – anak.
Di hari Kamis (28/11), lagi – lagi saya mendapati SMS yang isinya tawaran MC oleh bu Fenti (admin sekolah), untuk membantu bu Monik (guru SD) membawakan acara dalam komunitas KaliBagiSeru dengan tema gathering ibu – ibu. Berhubung sudah mengikat janji dengan pak Soleh (koordinator tim outbond), dengan berat hati saya membatalkan tawaran tersebut.
Keesokan harinya (Jum’at 29/11) tepatnya pukul 3 sore, pak Tedi Riansyah (pernah mengajar di LSC tahun ajaran lalu, kini sudah resign dan menggeluti dunia bisnis) berkunjung ke sekolah karena ditawarkan juga oleh pak Soleh membantu tim outbond. Selesai shalat ashar, pertemuan yang agendanya sudah disepakati 3 hari lalu dimulai. Dihadiri oleh 6 orang yakni pak Qobul, pak Ado, pak Anas, pak Tedi, pak Dani, saya dan pak Soleh (sebagai pemimpin syuro). Sesuai kesepakatan, saya mendapatkan amanah menjadi MC dengan pak Anas yang akan memandu anak – anak dari awal sampai outbond berakhir yaitu menangkap ikan. Sedang tim yang lain menjaga pos permainan outbond (low impact maupun high impact) dan saling membantu mengkondisikan acara.
Setelah briefing selesai, ayah Alif menelepon saya untuk dimintakan tolong menjaga anaknya dihari sabtu karena beliau lembur. Tanpa pikir panjang saya langsung menolak (dengan sopan) karena sudah diagendakan untuk outbond. Sambil menunggu pukul setengah 6 sore, saya mencetak soal UAS untuk hari senin mendatang berhubung kelas Bahasa Inggris libur (program baru untuk SDM SAB untuk mengembangkan kemampuan berbahasa setiap hari jum’at pukul 4 sore sampai setengah 6 sore di kelas 6 SD). Saya pun sudah diizinkan datang telat menuju rumahnya Alif setiap hari Jum’at dengan alasan keperluan sekolah ini.
Hari yang telah diagendakan pun tiba, sabtu (30/11) saya bangun pukul 4 pagi oleh suara alarm ponsel (yang sudah menyala sejak pukul 03.20, hehe) dan nada dering panggilan dari Tedi (direncanakan berangkat bersama) agar bergegas menuju rumah DIVA untuk persiapan alat –alat outbond. Bergegas saya mandi dan berangkat tanpa shalat subuh dan sarapan terlebih dahulu. Tiba pukul setengah lima subuh, terlambat setengah jam dari waktu yang sudah disepakati dan tidak sempat bertemu dengan Tedi di Taman Soka (rencananya berangkat bareng). Alhamdulillah masih sempat shalat subuh disana dan berangkat konvoi ke Dramaga IPB. Posisi saya dibonceng diatas motor saya sendiri sambil menggandong tas carry berisikan tali webbing dengan bobot sekitar 10 kilogram yang dikendarai oleh Tedi. Saya benar – benar lupa akan tengki bensin yang sudah mengarah pada huruf ‘E’ disebelah simbol lampu sen. Sampai sekarang teringat akan kata – kata pak Ado yang mengatakan “ini mau perjalanan jauh utamakan urusan yang penting dan mendesak.” Beliau menyampaikan pada waktu yang tepat, sehingga membuat saya malu dan sempat menyesalinya. Menyadarkan saya yang selama ini teledor serta kurang hati – hati dalam bertindak.
Terpaksa motor kami mampir dan mengisi 2 botol bensin eceran seharga 14.000 rupiah didaerah Indraprasta, Pandu Raya Bogor. Perjalanan panjang kami tempuh selama kurang lebih 45 menit untuk sampai tiba dilokasi. Sambil ngobrol dengan Tedi, saya menceritakan kegiatan – kegiatan sekolah yang kini sudah ditinggalkannya, tak lupa menanyakan selalu perkembangan bisnisnya selama di Depok. Disamping saya senang bertanya dengan orang lain, ini saya lakukan agar pengendara tidak mengantuk/suntuk saat diperjalanan.
Sesampainya disana kami langsung mengamankan ikan emas hias berukuran kecil sekitar 3 cm yang disimpan dalam plastik dengan oksigen sebagai permainan penutup kegiatan outbond yang ternyata setengah dari seluruh jumlah ikannya sudah mati (mungkin karena terlalu lama didalam plastik sehingga kekurangan oksigen saat diperjalanan). Bergegas kami yang menyiapkan terpal untuk membuat kolam ikan – ikan tersebut. Kendala baru muncul ketika pak Soleh lupa membawa selang untuk mengisi dari keran. Alhamdulillah penjaga sekolah yang ramah (entahlah namanya siapa, lupa saya menanyakannya) memberikan kami fasilitas yang kami butuhkan. Setiap kali meminta tolong untuk meminjam/meminta sesuatu selalu diusahakan sampai barang tersebut benar – benar ada demi kelancaran acara ini.
Setelah memasang ‘kolam terpal’ dihalaman belakang sekolah kami menuju lapangan yang jaraknya sekitar 100 meter dari TK (meskipun mendapat masukan terutama bambu sebagai patok, seharusnya yang besar sebagai tumpuan sudut sedang yang kecil ditengah – tengah sisi terpal sebagai penahan yang diikat tali rapia, patok bambu sebaiknya tidak dipasang secara asal). Diarea sekeliling lapangan kami berusaha secepat mungkin memasang instalasi terutama high impact yang memerlukan banyak tim work. Pemasangan elvis bridge diantara dua pohon besar dilakukan dengan penuh hati – hati dan memakan waktu yang lama. Lebih lama lagi ketika memasang instalasi flying fox yang hampir semua pasukan membantu menarik tambang besar sebagai sarana meluncur katrol dari atas pohon yang tingginya sekitar 4 meter sampai dasar sepanjang kurang lebih 6 – 7 meter. Dengan aba – aba hitungan 3 kami semua menarik sekencang – kencangnya sampai benar – benar selesai dan siap diaplikasikan, meskipun beberapa kendala kami temui tetapi tidak menjadi masalah yang membebankan selama jalannya acara.
Disamping itu persiapan permainan low impact disiapkan oleh masing – masing penanggung jawab. Halang rintang oleh pak Anas, Dribble bola oleh pak Tedi dan indra perasa oleh pak Dani dan saya. Kami memposisikan pos secara melingkar diarea lapangan agar rolling kelompok saat bermain terlihat mudah untuk dipantau dan tidak terkesan rumit, khususnya anak – anak TK.
Waktu menunjukan pukul 7.30, disaat semua persiapan sudah matang kami memulai briefing ditengah – tengah pepohonan. Tak jarang kami diperhatikan oleh pemuda/i yang sedang berjalan – jalan disekitar kampus (sepertinya mahasiswa IPB). Sambil menyantap sarapan yang sudah disiapkan (nasi uduk, gorengan, sambal, teh tawar) kami diarahkan kembali oleh pak Soleh. Kini pak Endang dan pak Budi ikut andil karena sebelumnya mereka berhalangan. Tak ada yang berubah isi yang disampaikan dengan yang kemarin, kami selalu siap menerima instruksi karena ini bukan pertama kalinya kami bekerja sama.
10 menit menjelang pukul 08.00 kami berjalan menuju TK (kecuali beberapa orang untuk menjaga wilayah outbond dikhawatirkan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, termasuk motor – motor kami yang disimpan disana). Ternyata sudah banyak yang berkumpul disana. Orang tua, guru – guru serta murid – murid dari berbagai kelas (TK, Playgroup dan TPA) sedang berbaris diarahkan oleh salah satu gurunya dengan pengeras suara. Seketika saya grogi karena kertas susunan acara yang diberikan kemarin tidak saya bawa (tertinggal dirumah sewaktu mempersiapkan isi tas hari ini). Setelah dipikirkan dan menarik nafas dalam – dalam, saya mendapat inspirasi akan isi rundown tersebut. Langsung saya tulis dikertas kosong agar tidak terlupa sekaligus menanyakan kepala sekolah yang akan membuka acara. Ibu Siti Rahmi namanya.
Seluruh peserta berjumlah 63 orang yang sudah terbagi menjadi 5 kelompok berdasarkan kelasnya masing – masing memiliki nama regu yang diadopsi dari nama – nama hewan. Diantaranya Gajah, Kijang, Ikan, Singa dan Bebek dari guru – guru mereka disetiap kelasnya. Setelah persiapan anak selesai,  saya masuk dengan wajah yang sangat ceria, menyambut anak – anak yang bersemangat mengikuti outbond. Dengan menggunakan toa dari sekolah, saya berusaha serapi dan ceria mungkin menghadapi anak – anak yang bersemangat. Sesi perkenalan dengan tim outbond pun tak lupa saya lakukan demi terciptanya suasana yang luwes dan tidak kaku sekaligus saya memberikan yel – yel kepada masing – masing kelompok sesuai dengan suara dan gaya binatang nama kelompok tersebut. Misal bebek dengan suara “kwek.. kwekk!” (sambil mengepakkan kedua tangannya) dan sebagainya. Alhamdulillah semua antusias menyimak terkecuali kelompok singa yang sepertinya ‘ketakutan’ dengan gaya saya yang mengaum seolah marah terhadap mereka yang masih playgroup. Ditambah juga dengan jargon outbond yang setiap kali saya ucapkan kata “outbond!” serentak anak – anak harus menjawab “yeeeee... aaaaa...!” agar selalu bersemangat.
Setelah acara dibuka, seluruh peserta diajak untuk bermain dengan pak Anas dihalaman yang cukup luas, waktu itu kami memandu ice breaking ‘halilintar’, games yang dilakukan anak – anak sambil memegang erat pundak temannya yang ada didepan. Mengikuti instruksi yang diberikan seperti ‘kanan, kiri, depan dan belakang’ sambil menggoyangkan tubuhnya kearah yang dituju. Semua terlihat antusias sampai intruksi opposite (kebalikan) yang dipandu oleh pak Anas. Setelah selesai, anak – anak diarahkan untuk berbaris dan dipasangkan webbing oleh tim outbond. Selalu diinformasikan kepada peserta yang ingin ke toilet agar segera dilakukan demi kelancaran jalannya outbond. Tentu saja diiringi dengan pertanyaan singkat kepada para peserta yang sedang dipasangkan webbing di perut dan kakinya. Perkenalan nama, alamat rumah dan hobby yang dilontarkan kepada anak – anak menjadi senjata andalan untuk mencairkan suasana, namun ada juga beberapa anak manja yang tidak menginginkan pemasangan webbing karena ketakutan serta alasan lain yang membuat mereka belum siap.
Setelah pemasangan webbing selesai, anak – anak diarahkan menuju lapangan bola yang letaknya sekitar 200 meter dari TK. Tanpa menunggu lebih lama, seluruh peserta memasuki pos yang sudah disediakan oleh tim oubond. Riuh suara anak – anak berteriak menghiasi suasana sekitar lapangan yang awalnya sempat hening karena tidak ada kegiatan lapangan tersebut. Masing – masing mengikuti aturan permainan yang telah disiapkan oleh penanggung jawab pos selama 30 menit sampai tiba giliran (berotasi) yang di tandai oleh suara pluit dari pak Soleh.
Pada wahana flying fox, semua berjalan dengan lancar hanya saja ada satu anak yang menangis karena ketakutan (tidak mau naik pohon dengan menggunakan tangga bambu). Beberapa anak lain meskipun dipaksa tetap masih bisa mengikuti permainan terkecuali Adri, seorang anak perempuan yang memiliki rambut panjang terurai sampai pundak.
Pos halang rintang dan dribble bola dilakukan tanpa mengalami kendala sedikit pun. Laporan dari pak Tedi dan pak Anas menggambarkan bahwa seluruh peserta antusias mengikuti permainan low impact tersebut. Pada pos yang saya pegang dengan pak Dani, yakni permainan ‘panca indra’ dilakukan dengan pola yang berbeda – beda setiap kelompoknya dikarenakan banyak anak – anak yang sudah mengetahui rintangan yang sebelumnya kami sembunyikan. Alhamdulillah, pak Dani mampu menyampaikan dengan berbagai variasi permainan lainnya sehingga semua anak senang. Saat moment seperti ini, anak – anak yang maju kedepan untuk menebak beberapa rasa (diantaranya gula, garam, kopi, jeruk nipis, asam kamal dan saus yang dibawa oleh pak Endang dari rumah) serta berbagai jenis benda untuk indra penciuman (sabun, jeruk nipis, minyak kayu putih dan kopi) ditertawai oleh teman – temannya serta guru pembimbingnya yang menyaksikan penampilan mereka. Bayangkan saja raut muka polos mereka berubah menjadi lain dari biasanya, ada yang menahan rasa asam dan asin dari garam dan jeruk nipis bahkan ada juga yang mencoba pahitnya kopi bubuk hitam sambil memejamkan mata mereka. Beberapa anak kami coba mencicipi saus dan diakhir sesi tak lupa kami membagikan gula sebagai penawar rasa hasil jerih payah mereka saat dicoba melakukan sesuatu serta refleksi yang kami berikan sebagai hikmah dan kesimpulan maksud permainan panca indra.
2 jam berlalu dengan permainan yang sama dilakukan sebanyak 5x sampai waktu permainan selesai. Rasa haus tak terbendung hingga akhirnya kami mendapatkan air mineral gelas dari penjaga sekolah yang kami minum dan ditampung didalam botol minum tupperware kami. Bergegas saya meninggalkan pak Dani menuju pak Tedi dan pak Anas kembali ke halaman TK untuk mengarahkan anak – anak dalam permainan menangkap ikan disana.
Ketika semua sudah berkumpul (tentunya dengan keadaan perut dan kaki yang sudah terlepas dari webbing) kami membagi permainan menjadi 2 sesi. Tahap pertama setiap perwakilan kelompok masuk kedalam kolam terpal sehingga hanya ada 5 orang yang menangkap ikan selama 30 detik pertama, begitu pun barisan kedua, ketiga dan seterusnya sampai baris ke dua belas setiap kelompoknya. Anak – anak yang mengantri ikut mensupport dan mendukung anggota kelompoknya untuk menangkap yang masih ikan hidup diantara sebagian ikan – ikan yang sudah mati.
Tak sabar menunggu giliran dan merasa kurang puas dengan waktu yang telah diberikan akhirnya mereka semua turun ke terpal setelah instruksi sesi kedua dimulai. Semua peserta merasa senang, termasuk guru – guru dan orang tua yang melihat kegiatan mereka. Saya menyampaikan agar orang tua mendokumentasikan dengan kamera atau merekamnya untuk kenang – kenangan anak. 30 menit berlalu oleh riak suara anak – anak yang tertawa lepas sambil berusaha menangkap ikan. Ada yang hanya main – main air dengan temannya ada juga yang fokus mencari serta menangkap ikan hidup untuk dibawa pulang.
Menjelang dzuhur, hitungan mundur dibunyikan sebagai tanda berakhirnya waktu menangkap ikan. Beberapa anak tetap bertahan dikolam buatan tersebut dengan penuh usaha menangkap ikan yang masih tersisa. Pergerakan ikan melambat (mungkin karena mabuk) karena warna air yang keruh akibat aktifitas anak yang mengobok – obok air. Setelah beberapa kali diingatkan dengan tegas, semua naik kepermukaan dan mandi untuk membersihkan diri mereka yang dilanjutkan dengan kegiatan makan siang bersama dan shalat dzuhur berjamaah. Kami pun melepas instalasi kolam terpal disamping anak – anak yang sedang makan siang agar kami pulang tidak terlalu sore. Beberapa ekor ikan kami bungkus dengan plastik ukuran setengah kilogram dan diberikan kepada anak – anak yang ingin membawa lebih banyak kerumahnya, sebagian yang lain meminta dikarenakan belum berhasil menangkap ikan saat outbond.
Selesai merapikan semua instalasi kami makan siang yang sudah disediakan oleh pihak TK. Menunya begitu lengkap, nasi kotak yang berisikan ayam kecap, tempe, tahu, capcay, kerupuk, lalap dan sambal menemani suasana siang dibawah terik matahari yang terhalangi pohon – pohon besar dihalaman belakang sekolah tersebut. Sambil menyantap hidangan kami melakukan evaluasi singkat sebaga bahan obrolan dan penilaian kegiatan outbond hari ini.
Tak sempat kami melakukan perpisahan, anak – anak sudah pulang oleh orang tuanya masing – masing. Ternyata sudah dilakukan penutupan oleh kepala sekolah, bu Rahmi serta refleksi hasil permainan outbond. Kami memutuskan shalat di salah satu ruangan Tk setelah kondisinya sudah terlihat sepi. Gunting biru yang semula dinyatakan hilang oleh salah satu tim outbond ternyata masih ada karena telah disimpan oleh penjaga sekolah.
Pukul 1 siang kami kembali ke rumah Diva, lokasi secretariat outbond untuk membenahi alat – alat dan semua instalasi yang sudah digunakan. Lagi – lagi perjalanan panjang kami tempuh selama kurang lebih 55 menit termasuk kemacetan yang terjadi di Jalan Baru (penyempitan jalan karena ada proyek jalan tol yang jaraknya sekitar 1 km).
Sesampainya disana kami beristirahat, sebagian memasak air panas untuk minum kopi dan berbincang – bincang melepas penat. Satu per satu anggota outbond dipanggil untuk mendapatkan upah sebagai rasa terimakasih atas terlakasananya kegiatan ini. “bayarlah seseorang sebelum hilang keringatnya,” itulah yang diamalkan dalam hal seperti ini.
Tak lupa saya melanjutkan pekerjaan saya di LSC yakni mencetak soal UAS siswa yang sebelumnya tertunda karena tinta printer habis digunakan guru – guru yang lain. Ditemani oleh pak Tedi saya mencetak beberapa lembar soal selama 10 menit. Kondisi yang sepi (karena setiap akhir pekan guru – murid libur) membuat saya tidak berlama – lama berdiam disana, segera saya berangkat dan mampir sejenak dirumah pak Tedi. Istirahat sejenak sekaligus shalat ashar dimesjid dekat rumahnya.
Saat berbincang – bincang saya meminta saran kepadanya untuk menentukan tempat membeli kue khas Bogor yang akan saya bawa ke Jakarta. Setelah ke Bogor Aroma, saya membelinya 3 kotak dengan rasa yang berbeda. Satu diantaranya saya bawa untuk keluarga dirumah. Senang rasanya mendapatkan rizki yang tidak terduga, bahkan diakhir bulan saya masih bisa memberikan senyum kepada keluarga dengan berbagi kenikmatan dengan orang lain.
-salam Muhammad Dhinar Zulfiqar
Pak Soleh            : “Pak Dhinar, selesai outbond masih cerah aja mukanya.. Semangat terus!”
Saya                       : “alhamdulillah pak, batrenya 18000 mAh (powerbank kale)”
Pak Soleh            : “coba tolong bantu saya dorongin motor sampai nyala!”
Saya                       :  “azzzzz (-_-) geura, dieu, mana, hayu!”

-Sabtu, 30 Nov '13 pkl 13.20

Minggu, 24 November 2013

meski sudah direvisi, aku bangga!

                Temans, ahamdulillah saya mendapatkan kesempatan untuk kenal dan dekat dengan seorang penulis kesohor, Pak Jonru Ginting, penulis mana yang tidak mengenalnya. Beliau adalah seorang penulis yang karyanya lebih banyak dimuat dalam dunia maya sekaligus owner penerbitan buku "dapur buku." Singkat cerita (baca seri berikutnya, awal perkenalan kami) saya bersahabat dengan beliau difacebook dan beberapa pekan kemudian kami bertemu dalam suatu event yang mereka buat di Jakarta (saya ditawari menjadi MC waktu itu). Suatu ketika beliau mengatakan bahwa karakter saya dimasukkan kedalam sebuah novel yang sedang dibuatnya. Menceritakan tentang kisah cinta segitiga yang terdapat banyak konflik didalamnya. Isi novel tersebut kurang lebih seperti ini:

Di dalam kamar, kuhidupkan laptop, dan mulai online di Facebook. Sekitar sepuluh menit setelah membaca status teman-temanku satu persatu, seseorang menyapa lewat chatting.
“Assallamualaikum, Ryana.”
Hm, ternyata Furqon, si pria hitam manis yang selalu tersenyum manis jika difoto. Dia seorang pengusaha UKM yang sering datang ke kantorku, bertemu dengan Pak Irfan, sang editor senior. Entah untuk urusan apa. Dari situlah awal perkenalan kami.
“Waalaikumsalam, Furqon. Lagi ngapain?”
“Dari tadi nunggu kamu.”
“Ada apa, kok nunggu aku?”
“Kangen.”
“Hush!”
“Aku serius, nih.”
“Serius gimana?”
“Serius kangennya.”
“Masa sih?”
“Iya. Suer!”
“Tapi aku kok enggak kangen, ya?”
“Masa sih?”
“Iya.”
“Masa cowok seganteng aku enggak bikin kangen?”
“Hihihi.... Dari dulu kamu selalu aja ge-er!”
“Iya, dong. Harus percaya diri. Aku kan ganteng tak berujung. Kayak Restu.”
“Siapa tuh, Restu?”
“Itu, yang di sinetron Tukang Bubur Naik Haji.”
“Halah! Hobi banget nonton sinetron.”
“Bukan hobi. Kebutuhan.”
“Maksudnya?”
“Aku kan pengen jadi artis.”
“Oh, ya? Udah pernah main sinetron?”
“Pernah. Jadi figuran numpang lewat.”
“Kekekeke.... Kasihan!”
“Jangan ngeledek gitu, dong. Figuran kan cuma batu loncatan menuju peran yang lebih besar.”
“Hehehe.... Iya, deh. Aku doakan moga cita-citamu terkabul, Nak.”
“Aamiin, terima kasih doanya, Bu Ryana.”
“Kok manggil Bu?”
“Abis kamu manggil aku Nak, sih.”
“Hehehe....”
Kami terus ngobrol, bercanda dan tertawa-tawa.
.....
“Ryana, aku boleh ngomong serius?” ujar Furqon setelah kami ngobrol ngalor ngidul selama setengah jam lebih.
“Mengenai apa?”
“Yang kutanyakan tiga hari lalu.”
“Apa tuh?”
“Idih! Pura-pura lupa!”
“Hehehe....”
“Ayo, dong. Sekarang udah masuk episode serius, nih.”
Okay. Pak Furqon mau menyampaikan apa?”
“Seperti yang pernah kuutarakan, aku cinta kamu, Ryana. Aku ingin membangun rumah tanggap bersama kamu. Aku butuh jawaban kamu sekarang. Kamu mau aja atau mau banget?”
Oh My God! Di tengah ucapannya yang serius, dia masih sempat-sempatnya menyelipkan humor di bagian akhir. Begitulah Furqon, cowok hitam manis yang katanya ganteng tak berujung, dan sangat humoris orangnya.
Sejujurnya, aku sangat mengagumi keberanian dia. Caranya menyatakan cinta sangat gentleman, berani, penuh percaya diri.
“Ryana, kok diam?” Furqon menagih jawabanku setelah aku diam beberapa menit.
“Bingung ya?”
“Hm... I am sorry, Furqon,” sahutku. “Aku hargai niat baik kamu. Kamu cowok yang baik, humoris, pemberani, tidak mudah tersinggung, tidak gampang menyerah.”
“Alhamdulillah, terima kasih pujiannya.”
“Kamu pasti bisa mendapatkan pendamping yang jauh lebih baik dari aku.”
“Maksudnya?”
“Kita jadi sahabat saja, ya?”
Dia tak membalas. Mungkin kaget atas penolakan halusku.
“Furqon,” lanjutku, berusaha menghiburnya. “I am so sorry. Aku tak mau melukai hati kamu.”
Dia masih diam.
“Kamu adalah tipe pria idaman banyak wanita. Kamu akan dengan mudah mendapatkan yang jauh lebih baik dari aku. Jangan marah, ya. Kudoakan kamu cepat dapat pendamping hidup. Aku sebagai sahabat akan sangat bahagia jika kamu juga bahagia.”
Lalu aku segera sign out dari Facebook, mencoba meredam rasa pusing di kepala yang mulai menyerang.
Ya Allah, hari ini sudah ada tiga pria yang berniat melamarku! Di hari-hari sebelumnya pun, ada beberapa nama yang sudah menunggu jawaban. Jika harus memilih satu di antara mereka, ke hati siapakah cintaku akan dilabuhkan? Rasanya, belum ada satu pun di antara mereka yang sesuai kriteria!

                Begitulah cuplikan novel yang sedang diliris oleh Pak Jonru. Saya dilukiskan sebagai Furqon dalam cerita diatas. Meskipun peran Furqon hanya sebatas figuran, tetapi saya senang karena tokoh tersebut diadopsi dari kondisi saya (waktu itu saya pernah menjadi figuran sintron SCTV) juga sikap saya yang suka 'ge-er' dan humoris.
                Novel tersebut akhirnya direvisi oleh penulisnya demi mencapai titik final pembuatan buku, karena alasan tertentu, dialog tersebut dihapus. Terbesit rasa kecewa namun tak bertahan lama karena saya menganggap itu sebagai hiburan untuk saya. Meskipun sudah direvisi, aku merasa bangga bisa menginspirasi orang lain. :D