Rabu, 22 Januari 2014

3 Syarat menjadi seorang laki-laki




Beberapa waktu lalu, ketika saya masih sekolah (tepatnya kelas 2 SMP), Bapa (sebutan kami untuk 'ayah' dalam bahasa Sunda) pernah memberitahukan satu hal yang sampai sekarang masih saya ingat. Saat itu kami sedang mengerjakan PR dirumah, duduk berdua secara lesehan dengan ditemani beberapa makanan ringan dan air minum diruang tengah, Bapa menanyakan sesuatu kepada saya yang sebelumnya belum pernah diberikan
“Dhin, kamu tahu apa saja syarat untuk menjadi laki - laki?” Tanya Bapa secara spontan.
Entah apa maksud yang diutarakannya, karena sejujurnya saya belum paham alasan Bapa bertanya seperti itu. Rasa penasaran datang membayangi, seketika saya tanya kembali kepada Bapa dengan nada spontan,
            “memang ada Pa? Bukankah sekarang ini Dhinar sudah jadi laki - laki?"
(Bapa tersenyum kecil kepada saya) "hmm, jadi begini Nak, ada tiga syarat yang harus kamu punya untuk menghadapi masa remaja saat ini dan ketika dewasa nanti, kamu harus menguasai setidaknya salah satu dari tiga poin ini."
(Saya mengerutkan kening) "apa saja itu Pa?"
"Pertama, kamu harus bisa memainkan minimal satu alat musik."
"Kenapa harus alat musik Pa?"
"Dengan memainkan alat musik, itu pertanda kalau kamu menyukai 'kesenian'. Tidak hanya sebagai penikmat, tetapi berperan langsung sebagai pelaku seni."
"Emangnya ada apa dengan seni Pa? Apa hubungannya dengan laki - laki?"
"Begini nak, seni dapat membuat kita lebih memahami arti hidup dan membuat langkah ini lebih bermakna, kita dapat melihat segala hal dari sudut pandang yang indah. Meluapkan emosi dan menghindari sifat keegoisan. Menjalani hidup dengan seni, dapat membuat seseorang menjadi humoris, romantis dan ekspresif bahkan lebih peka terhadap sesuatu."
Saya mengangguk dengan sedikit terpaksa, karena beberapa penjelasan yang disampaikan terlalu rumit untuk dipahami.
"Oh begitu, penjelasan Bapa hebat, keren! Lantas apa yang selanjutnya?"
"Kedua, sebagai laki-laki kita harus bisa mengendarai mobil atau motor, minimal sepeda."
"..." (bingung dan berpikir dengan argument Bapa yang kedua)
"Laki-laki itu berjiwa bebas, berbeda dengan perempuan. Kita dengan mudah melangkah sejauh apapun yang kita inginkan. Penampilan yang simpel dan gerak tubuh yang tak terbatas membuat laki-laki jauh lebih berenergi dibandingkan perempuan. Sejarah mencatat bahwa laki-laki mendominasi ekspedisi dunia. Christophus Colombus, Bartholomeuz Diaz, Marcopolo, dll. mereka semua bergender laki-laki. Jelajah bumi melalui jalur pelayaran/laut menggunakan kapal dengan layar yang terbentang diatasnya dipimpin oleh kaum laki-laki. Anak buahnya pun merupakan kumpulan pria tangguh dalam menghadapi lautan/samudra luas demi tercapainya cita-cita.

            Rasulullah saw. juga menggunakan pemuda laki-laki dalam perangnya membela Islam. Pasukan pemanah, pemegang tombak, ahli pedang dan penunggang kuda mereka ada prajurit yang tangguh. Adapun perempuan hanya sebatas membantu dalam bidang tertentu, misalnya konsumsi atau sarana prasarana lain yang mudah dibawa. Seorang 'pria' (laki-laki dewasa) harus bisa menuntun keluarganya dalam menghadapi hidup. Karena kelemahan mereka, kita yang dituntut harus melindungi mereka dan memberikan haknya. Dengan berkendara, kita bisa mengantarkan perempuan dan orang lain keliling dunia."


"Jadi intinya, dengan membawa kendaraan, kita bisa bercengkrama sekaligus melindungi perempuan dan orang lain? Lantas apa yang terakhir?"
"Yap betul Dhin, meskipun banyak diluar sana perempuan yang tangguh namun secara hakiki, laki-laki lah yang lebih berhak mengembannya. Dan yang Ketiga itu adalah keimanan."
"Keimanan? Bukan hal yang lain Pa? Seperti kecerdasan atau hubungan dengan orang lain (sosialisasi)?"
"Keimanan adalah tameng juga prinsip yang harus dipegang teguh oleh semua manusia. Orang yang beriman memahami bahwa menuntut ilmu hukumnya wajib, maka ia akan belajar tanpa batasan waktu. Logikanya, dengan belajar kita mendapatkan ilmu dan dengan ilmu kita akan lebih dipandang oleh orang banyak, ketenaran pun secara otomatis akan mengikuti. Disamping itu, kita sebagai laki-laki akan dituntut mencari nafkah ketika dewasa. Ilmu yang kita miliki akan membawa arah kita, langkah kemana kita akan pergi. Apalagi jika kita ahli pada bidang tertentu, justru pekerjaan yang akan mencari kita.
Adapun tambahannya keimanan adalah jembatan yang menghubungkan dunia dengan akhirat, agar kita tidak melulu terlena dengan dunia yang fana ini. Laki-laki berperan sebagai kepala keluarga, ibarat sebuat kapal besar, kita adalah nahkodanya. Bukankah tujuan akhir semua manusia itu adalah akhirat? Jangan sampai kita menganggap semua hal benar karena rendahnya keimanan kita. Jadi, keimanan ini sangat kita butuhkan dalam membatasi hal tertentu yang sekiranya kurang benar."
"Oh begitu Pa, sekarang saya paham. Hmm, lantas kenapa Bapa jarang sekali terlihat memainkan alat musik? Hanya memutar kaset lagu-lagu Jawa dan musik jadul era 70-an. Kenapa tidak bisa mengendarai sepeda motor? Bisanya cuma dibonceng, sekalipun kendaraan tersebut ada didalam rumah, tidak ada keinginan untuk belajar. Serta ibadah pun tak serajin orang lain." Tanya saya mengumpan dan mempertanyakan fakta yang ada.
"Perlu kamu ketahui Nak, Bapa ingin sekali melihat kamu lebih baik dari Bapa sekarang. Seni, kendaraan dan keimanan hanyalah sebagian kecil dari semua yang ingin Bapa sampaikan, selebihnya kamu bisa mencari sendiri."
Ternyata cakupannya begitu luas, mungkin itu hanya sebagian kecil yang diutarakan oleh Bapa kepada saya. Mendengar itu semua, (waktu itu) saya tertawa lepas seolah mendapat pencerahan baru. Kupeluk erat tubuhnya yang gendut dan berbagi tawa karena kepolosan saya dalam menerima ilmu tersebut. Bersamaan dengan selesainya obrolan kami, PR saya pun selesai dikerjakan.
Saat menulis ini saya tak kuasa menahan air mata mengingat kejadian itu, saat dimana rekaman memori peristiwa tersebut diputar ulang. Sungguh begitu amat terasa ketika beliau sudah tidak ada. Terimakasih untuk wasiatnya Pa, kini saya sudah berkembang menjadi laki-laki dewasa dan perlahan memahami maksud persyaratan tersebut. Alhamdulillah saat ini saya dapat melakukan ketiga pesan itu dibandingkan waktu dulu. Memainkan alat musik, bisa mengendarai sepeda motor dan insyaa Allah istiqomah menjaga keimanan dalam menjalani kehidupan ini, tetapi engkau malah tak sempat melihat semuanya.

Terimakasih (alm.) Pa Tatang untuk semuanya…

“Menangis saat menulis pengalaman ini
Bogor, 22 Januari 2014
Salam kangen, putra bungsumu
Muhammad Dhinar Zulfiqar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar