Rabu, 03 Desember 2014

menejerku, kenapa?

Menejer-ku marah!
Senin, 1 Desember 2014
Hmm, belum pernah saya merasakan hal seperti ini sebelumnya, melihat seorang menejer/kepala sekolah SM marah karena tidak dihargai saat memberikan pengarahan kultum pada hari senin, 1 Desember 2014. Kejadian tersebut bermula ketika jadwal kultum bulan Desember belum dibuat dan belum disosialisasikan kepada seluruh siswa, pak Okwan berinisiatif menjadi imam shalat dzuhur dan meminta Dzahry (yang secara siap maupun tidak siap) untuk memberikan kultum yang ia ketahui, apapun temanya.
Setelah beberapa orang selesai melakukan shalat ba’diyah dzuhur, Dzahry kemudian berdiri yang memberikan cerita singkatnya dengan tema “takut karena Allah swt.” Hampir semua siswa dan siswi mushola waktu itu terhibur karena pembawaan ananda Dzahry yang khas dan unik. Singkat dan berisi.
“Kalau ada orang lain mengajak berbuat ‘mesum’ bilang saja, ‘aku takut karena Allah swt.’”
Seperti biasa, seorang imam akan mengambil alih komando ketika pemateri kultum selesai memberikan kajiannya, dalam hal ini pak Okwan yang mengapresiasi kultum Dzahry. Sudah sering diingatkan bahwa kita harus ‘respek’ terhadap orang lain, minimal dengan mendengarkan seseorang yang sedang berbicara didepan (siapapun itu) tanpa mengeluarkan suara/diam. Lagi dan lagi hal yang sama terulang, ketika pak Okwan menyampaikan sedikit pemaparannya, suasana kembali gaduh oleh kicauan sebagian murid yang membuat suara pak Okwan tidak terdengar. Beberapa kali beliau mengambil mic dan mematikannya kembali akan tetapi tidak ada respek dari anak-anak sehingga pak Okwan mengambil tindakan dengan menghentikan nasehatnya sekaligus anjuran untuk melakukan shalat munfarid (meniadakan kultum harian).
Serentak seluruh siswa terdiam dan bingung, melihat pak Okwan sudah jauh meninggal mushola menuju kantornya. Lantas apakah respon anak-anak terhadap hal tersebut? Hampir semuanya tidak peduli dan melanjutkan aktifitasnya seperti biasa, seolah kejadian tersebut tidak pernah terjadi. Ada beberapa yang menggerutu, ada yang menyalahi diri sendiri, bahkan ada pula yang saling menyalahkan satu sama lain.
Ruang mushola kembali sepi setelah anak-anak bubar meninggalkan tempat itu, namun ada juga yang tetap stay didalam mushola untuk sekedar bercengkrama dan bermain catur didalamnya. Mayoritas dari mereka adalah SM 3. Aku yang ikut merasa bersalah (meskipun saya tidak pernah mengobrol saat kultum), karena telah membiarkan anak-anak ngobrol, bersegera mengambil tindakan bersama bu Yunda untuk mengumpulkan seluruh ketua kelas kecuali Reksa (berhubung hari itu tidak masuk) dan mendiskusikan masalah tersebut kepada perwakilan kelas yang sudah berkumpul. Termasuk dalam diskusi tersebut ada juga Galih sebagai ketua OSIS dan juga beberapa teman yang lain seperti Sultan, Ramzi, Haidar dan lain-lain yang berpartisipasi dalam perkumpulan kecil tersebut. Sudut tenggara mushola waktu itu sibuk dipenuhi aspirasi anak-anak dalam membahas persoalan yang masih hangat terkait ‘kemarahan pak Okwan.’
Dipandu oleh bu Yunda, diskusi yang berlangsung sangat singat tersebut menemukan beberapa point penyebab masalah itu. Mereka mengakui bahwa hal tersebut disebabkan karena suara anak-anak mendominasi pak Okwan (dan guru-guru lainnya) saat sedang kultum. Ditengah-tengah diskusi, ada komentar yang beranggapan bahwa pak Okwan hanya mengambil tindakan “serius, serius, bercanda” untuk memberikan kita pelajaran, tidak semuanya benar. Ada juga yang mengomentari pak Okwan bahwa tindakan tersebut terlalu ‘delit’ (bahasa sunda) atau sarkatisme (membawa emosi, cepat marah dalam mengambil tindakan) sehingga menyesatkan seluruh siswa untuk tidak shalat berjamaah dan menghilangkan kebiasan baik SM lainnya.
Ditengah diskusi, pak Okwan berbisik kepada pak Rizal dan menyatakan bahwa “Happy Hour’s ditiadakan!” Kabar yang langsung disampaikan pak Rizal kepada kami membuat suasana semakin panas. Berhubung waktu yang sudah mendekati pukul 13.00, pertemuan ditutup dengan kesimpulan beberapa macam “cara meminta maaf,” yang nantinya akan disosialisasikan kepada teman-teman setiap kelasnya.
Sepulang sekolah, pertama kalinya Naufal SM 2 berbicara didepan kelas untuk mendiskusikan hal ini. Kurang lebih 15 menit kepulangan anak ditunda sampai akhirnya bu Furi menengahi pertemuan tersebut dengan menampung segala aspirasi siswa di SM 2 Turmudzi, begitupun kelas-kelas yang lainnya.
What next?

Keesokan harinya, Selasa, 2 Desember 2014, kultum dan shalat dzuhur-ashar berjamaah tetap dilakukan seperti biasanya. Lagi dan lagi, kegaduhan terjadi yang membuat pak Bagus bertindak tegas saat memberikan apresiasi terhadap Dzahry yang telah melakukan kultum. Seketika mushola hening, Irfan dipanggil sebagai perwakilan untuk memberikan pernyataan sekaligus permohonan maaf kepada semua. Semoga hal seperti ini tidak terulang kembali dimasa yang akan mendatang, amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar