Dilema Cup-Song
Oleh: M. Dhinar Zulfiqar
Jum’at, 15 April 2016
Sebelum aku menceritakan semua, izinkan aku bertanya, tentang
berbagai hal yang mungkin cukup sulit untuk menyimpulkannya.
·
Apakah
mudah mengumpulkan hampir 30 orang yang memiliki ego dikalangan para remaja
12-15 tahun?
·
Bisakah
kalian membuat konsep mulai dari 0 sampai 100 % untuk siap ditampilkan pada 2
buah acara besar, dimana kalian sendiri kurang memahami materi yang diamanahkan
tersebut?
Itulah aku, seseorang yang mendapatkan amanah tersebut.
Ada kisah menarik yang ingin aku share sebagai catatan
perjalanan sekaligus evaluasi untuk kita semua, bagi teman-teman yang ingin
belajar.
***
Beberapa bulan sebelum acara besar tahunan sekolah
diselenggarakan, seluruh panitia berkumpul untuk membentuk susunan kepanitiaan
yang nantinya akan bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan
kebutuhan acara. Aku ikut karena tuntutan, karena aku pernah menjadi ketua
acara ditahun sebelumnya. Sebagai mantan ketua yang pernah merasakan
pahit-manisnya acara, aku bergabung didalam kepanitiaan. Begitulah sistemnya,
SC dan OC.
Diskusi demi diskusi kami laksanakan, hingga akhirnya aku
menjadi bagian tim olah isi, personil yang mengurusi inti acara baik persiapan,
kemauan maupun skill. Dengan kemampuan yang aku miliki, aku menyepakatinya dan
mulai bertindak sebagai pelatih, salah satunya adalah Cup-Song.
Cup-Song, singkat namun menantang. Aku berfikir bagaimana
caranya sebuah gelas plastik bisa menjadi instrumen yang sangat menarik dengan
berbagai bumbu didalamnya. Awalnya ini bukanlah tugas yang aku emban, melainkan
temanku yang lain. Akan tetapi berhubung beliau sibuk dan aku adalah
satu-satunya tim acara yang senantiasa stay
di sekolah, maka aku membantunya. Sedikit demi sedikit, aku memegang penuh
amanah Cup-Song.
Mengapa harus Cup-Song? Salah satu tujuan dari acara kami
yaitu mengkampanyekan penggunaan tumbler atau botol minum yang bisa digunakan
berkali-kali. Harapannya masyarakat sadar akan penggunaan botol sekali pakai
yang dapat merusak lingkungan karena sulit diuraikan dan didaur ulang. Itulah sebabnya,
salah satu tampilan yang disajikan adalah instrumen Cup-Song.
Pendaftaran pertama, aku sangat optimis karena mendapatkan
banyak partisipan yang mendaftar, terutama kelas 7 yang sekelas denganku. Lambat
laun jumlah mereka berkurang karena berbagai hal. Ada siswa yang lebih ingin
masuk perkusi barang bekas, ada yang bilang terlalu sibuk, ada yang belum
memiliki bakat, ada juga yang ikut-ikutan bahkan tidak bertanggung jawab atas
pendataan namanya.
Tiap malam aku memperhatikan bagaimana Cup-Song bisa dimainkan
secara asyik dan renyah. Meskipun sebelumnya aku pernah melihat penampilan Cup-Song,
akan tetapi melatih anak-anak jauh lebih rumit dari yang aku lihat di atas
panggung. Tidak jarang aku diskusi bersama anggota tentang konsep dan
dasar-dasar Cup-Song hingga akhirnya aku memahami betul bagian-bagian instrumen Cup-Song.
Latihan pertama, aku mencontohkan 3 pola bermain Cup-Song.
Pola 1 : dug – tak – dug – – tak
Pola 2 : dug – dug – pok – – tak
Pola 3 : pok – pok – du-du-dug – pok-tek-tak… pok-tek-pok-tek-pok
– dug – tak
Kebanyakan dari mereka memilih Pola yang ke-3 karena lebih
banyak, lebih menarik dan lebih menantang. Begitulah anak-anak muda, ingin
selalu tampil eksis meskipun konsep yang aku buat tidak selamanya pola ke-3.
Dalam perjalanannya, aku mendapati banyak kendala,
diantaranya acara sekolah yang bejibun, aku harus berada diluar kota selama 1
pekan dan mengistirahatkan seluruh personil Cup-Song. Aku juga dibenturkan
dengan job-desc yang kondisinya harus didampingi, tidak bisa ditinggalkan. Disamping
itu, banyak dari personil yang akhirnya mengundurkan diri dengan berbagai
alasan, ketidakjelasan acara adalah salah satunya. Aku sampai mengemis dan
memohon kepada beberapa siswa yang memiliki kemampuan untuk ikut bergabung,
disaat itu juga ada siswa yang mau tapi malu, mau tapi sibuk dan mau asalkan
dengan teman dekatnya yang satu kelas. Tentu saja aku harus mengajak beberapa
siswa lain agar tim Cup-Song menjadi sebuah kelompok yang kompak.
Setelah konsep 60% terbentuk, maka mulailah anak-anak
memberikan saran untuk penampilan yang akan dimainkan. Pernah sempat kami
membawakan lagu luar negeri yang akhirnya aku tolak dan menggantinya dengan
lagu Manuk Dadali & Bogor Kota Beriman dengan 4 orang penyanyi inti. Tentu saja
aku harus bisa memanfaatkan waktu seoptimal mungkin untuk mengajak mereka latihan,
yakni pukul 12.30-13.00. Waktu yang singkat bukan? Betapa bahagianya aku karena
ada pengakuan dari tim untuk meluangkan waktunya demi latihan. Mereka mendengarkanku,
berkumpul dan fokus, padahal bisa saja mereka asyik ngobrol menunggu jam
belajar sesi siang dimulai atau jajan dikantin dengan teman-teman yang lain.
Bagiku, latihan Cup-Song, begitu memiliki makna.
Pernah sekali personil kelas 7 dikeluarkan dari kelas karena
kami latihan melebihi pukul 13.00. Bukankah itu tidak adil? Kami berusaha semaksimal
mungkin sebagai representative
program sekolah namun tidak didukung sepenuhnya. Ingin rasanya aku meminta maaf
kepada mereka. Tapi, yasudahlah…
Gelas yang menjadi masalah latihan, akhirnya ditanggung oleh
rekan panitia agar latihan bisa berjalan rutin. Selalu aku rapikan gelas yang
sudah dipakai dan disimpan didalam loker kerjaku agar tidak berserakan dan
hilang. Begitulah kami setiap hari, demi mensukseskan acara yang telah
dipercayakan kepada kami. Tidak hanya Hari Bumi, tapi juga Open Mind Event
orang tua siswa baru, saran yang diajukan oleh Mr. Good.
***
Hari ini…
07:40 Aku datang kesekolah dengan nada & ekspresi seperti
biasanya. Lain dari biasanya, aku tidak membawa sepeda karena pagi ini hujan
turun sehingga komunitas sepeda diistirahatkan. Selesai shalat dhuha, anak-anak
mengikuti sesi mentoring yang membahas tentang “batasan pergaulan ikhwan &
akhwat” dengan pembagian kelompok sesuai dengan kelasnya. Beberapa walikelas
begitu reaktif menerima saran dari Leader terkait pembahasan ini, berhubung ada
beberapa kasus yang sangat tidak mencerminkan diri seorang muslim. Aku memperhatikan
mentoring tersebut sampai penutupan.
09.40 Aku mendengar Madam kecewa karena murid-muridnya banyak
yang absen/tidak masuk sekolah. 2 orang diantaranya adalah anggota Cup-Song. Awalnya
aku merespon dengan biasa, akan tetapi semua berubah ketika Madam memberikan
hukuman kepada mereka. Disamping itu, Ia mendapatkan kabar dari salah satu
orang tua bahwa seorang siswa akan datang siang, demi mengikuti kegiatan
gladiresik Cup-Song di sekolah.
Entah apa yang dipikirkannya, ia langsung memintaku untuk
mencoret nama personil Cup-Song dari list dan tidak mengizinkannya ikut. Pernyataan
tersebut dipertegas oleh Leader dengan alasan, “siswa yang datang disiang hari,
tidak menghargai pembelajaran dipagi hari dan lebih mengutamakan Cup-Song.
Tidak masalah ‘kan apabila satu orang kita coret karena hari ini tidak masuk?
Tidak mempengaruhi suara & ketukan bukan? Silahkan disuruh pulang!” Hal
inilah yang menjadi sebab dari segala kegalauan saya.
Tiba-tiba langit terasa runtuh. Aku adalah orang dibaris
terdepan yang mengkoordinir tim Cup-Song. Mendengar pesan tersebut, aku sempat
menimpali dan mempertanyakannya terutama alasan 2 siswa Cup-Song yang pagi ini
tidak masuk dan ingin datang siang. Menurutku, bukan masalah kehilangan ketukan
dan suara, atau jumlah personil, melainkan pengorbanan yang telah
dikontribusikan kepada Cup-Song. Waktu istirahat yang tersita untuk latihan,
sekaligus momen H-1 menjelang acara berlangsung. Seorang anak izin itu sah-sah
saja, terlebih yang memberi kabar adalah orang tuanya. Masalah?
Dalam kondisi tersebut, aku menyadari bahwa aku bukanlah
siapa-siapa. Aku bukan kepala sekolah ataupun walikelas siswa Cup-Song. Aku juga
tidak bisa menantang seseorang yang sikapnya sangat saklek terhadap aturan. Aku
mulai dihantui perasaan bersalah. Dalam kebimbangan tersebut, tiba-tiba ada
suara Mr. Good yang begitu menyejukkan, seolah kehadirannya dari surga. Ia
berkata, “Apakah sanksinya bisa diganti dengan yang lain, tanpa mencoret
anggota Cup-Song?”
Meskipun saran tersebut sepertinya diabaikan, setidaknya hal
itu telah memberikan titik terang kepadaku. Aku mulai melamun dan terus mencari
jalan keluar atas semua yang telah terjadi. Akhirnya aku memberanikan diri
untuk bertanya langsung kepada 2 anak tersebut, berhubung ponsel mereka pasti
ada ditangan mereka, tidak seperti siswa disekolah yang tidak memegang ponsel
karena dikumpulkan.
Aku memahami kondisi diantara kedua siswa tersebut. Satu diantaranya
sakit perut dan satu yang lain sedang melakukan pengayaan ditempat bimbelnya. Pergantian
jadwal tersebut dilakukan karena jadwal rutin mingguannya digunakan untuk
perform Cup-Song. Betapa dalamnya perjuangan anak tersebut, demi kelulusan UN,
demi penampilan Cup-Song, ia harus merubah jadwal dan izin sekolah. Aku paham.
Sesegera mungkin aku memberi kabar kepada keduanya untuk
tidak datang disiang hari karena akan ada seseorang yang menyuruhnya pulang. Aku
menyayangkan ongkos dan energi yang akan dikeluarkan nantinya. Aku juga meminta
kepada orang tua untuk memberikan kabar bahwa ketidakhadirannya disekolah
adalah dikarenakan urusan urgent. Khawatir kekecewaan dan kebencian muncul
ketika kehadiran disekolah justru tidak diharapkan. Sakit.
Aku tidak mau bersikap su’uzhan/buruk sangka. Mr. Good
menyayangkan akan kebijakan yang diputuskan dipagi itu dan mencoba menghiburku
untuk tidak memikirkan masalah ini. Akan tetapi, aku menganggap masalah ini
adalah masalah yang serius. Antara kehormatan, kepercayaan, emosi, aturan, dan
menjaga perasaan orang lain.
Selepas shalat Jum’at, aku berusaha bernegosiasi dengan
Leader terkait pesan yang telah disampaikan tadi pagi kepada saya. Hasilnya adalah,
Leader mengizinkan dengan syarat izin ke Madam. Sungguh diluar dugaan, do’aku
dijabah. Allah maha membolak-balikan hati manusia.
Saat komunitas berlangsung, aku masih melamun memikirkan
sesuatu yang masih menempel dikepalaku, tidak terlihat namun memberatkan, ya
kondisi personil Cup-Song yang tidak masuk. Menjelang siang, sesuai rencanaku
anak-anak tidak datang disiang hari meski tidak ikut gladiresik sekalipun.
Seusai komunitas, acara gladiresik dimulai, seperti dugaanku
sebelumnya, tim Cup-Song tidak lengkap karena beberapa diantaranya ada yang
mengikuti club & futsal. Waktu terus berjalan, meskipun tidak lengkap, kami
tetap melanjutkan acara. Disusul performance Alif bermain solo gitar dan
persiapan perkusi.
Kegiatan ditunda karena shalat Ashar. Seusai shalat, aku
menghampiri Madam yang sedang merapikan mukena. Aku mengutarakan kembali
maksudku, yakni mengizinkan siswa ikut Cup-Song meskipun hari ini tidak hadir. Maka
inilah jawabannya,
“Itu keputusan bukan saya yang mengucapkan, melainkan Leader,
maka silahkan tanyakan kepada beliau. Ternyata yang ada dipikiran kami adalah
hal yang sama. Saya kecewa karena belakangan ini banyak siswa yang absen setiap
hari Jum’at karena malas. Selalu saja ada alasan untuk bisa bolos, entah itu
sakit, pergi dan lainnya. Saya menyayangkan anak yang hanya datang siang untuk Cup-Song,
tidak memperdulikan pembelajaran dipagi hari. Bagi saya itu tidak mencerminkan
akhlak yang baik. Seolah sekolah ini milik dia, dan dia bebas berbuat semaunya,
maka saya sarankan, untuk yang seperti itu sebaiknya tidak ikut tampil. Saya sih
terserah, tergantung kebijakan bapak. Berhubung tidak ada anak yang sengaja
datang siang.”
Ada setitik harapan untuk bisa merekrut kembali harapan yang
hampir putus diantara aku dan anggota Cup-Song. Hal ini terus menjadi rahasia
antara aku, Leader, Madam dan Mr. Good. Tidak ada yang tahu kecuali kami.
***
Sore menjelang maghrib, Madam mengoprek ponselku karena
meminta foto latihan untuk dikirimkan ke ponselnya via WhatsApp, seketika aku rebut khawatir riwayat
chatnya dibaca, aku menyenggolnya sampai ponselku terjatuh. Sungguh perjuangan
yang luar biasa. Andaikan obrolanku dibaca, mungkin aku akan mendapatkan
teguran atau mungkin hanya ketakutanku saja.
Aku berusaha semaksimal mungkin untuk tidak mendukung salah
satu pihak yang berkepentingan. Aku adalah aku. Aku adalah pelatih Cup-Song,
maka aku mempunyai wewenang untuk mensukseskan acaraku, acara semua. Aku tidak
ingin mengurangi ekspetasi ketua pelaksana yang hari kemarin melihat hanya
karena masalah sepele disekolah. Aku berharap Leader bisa bersikap bijak. Andaikan
seorang tidak mengikuti kelas mentoring dengan tema “batasan pergaulan ikhwan
dan akhwat,” maka konklusinya adalah mencari informasi tentang tema tersebut,
baik itu mencatat atau browsing atau dipresentasikan, kurasa itu lebih nyambung
dibandingkan dengan hukuman mencoret keanggotaan Cup-Song.
Urun saran, terkait absen anak dihari Jum’at, mungkin yang
menjadi salah satu faktor pemicunya adalah kejenuhan akibat kegiatan yang
monoton. Mungkin evaluasinya bisa kita bicarakan agar lebih menarik dan lebih
mengesankan dimata dan dihati anak-anak.
Semoga bermanfaat
“Beberapa tokoh dalam cerita ini saya tulis dalam nama samaran…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar