Sabtu, 16 April 2016

Dilema Cup Song

Dilema Cup-Song
Oleh: M. Dhinar Zulfiqar

Jum’at, 15 April 2016
Sebelum aku menceritakan semua, izinkan aku bertanya, tentang berbagai hal yang mungkin cukup sulit untuk menyimpulkannya.

·         Apakah mudah mengumpulkan hampir 30 orang yang memiliki ego dikalangan para remaja 12-15 tahun?
·     
    Bisakah kalian membuat konsep mulai dari 0 sampai 100 % untuk siap ditampilkan pada 2 buah acara besar, dimana kalian sendiri kurang memahami materi yang diamanahkan tersebut?

Itulah aku, seseorang yang mendapatkan amanah tersebut.

Ada kisah menarik yang ingin aku share sebagai catatan perjalanan sekaligus evaluasi untuk kita semua, bagi teman-teman yang ingin belajar.

***

Beberapa bulan sebelum acara besar tahunan sekolah diselenggarakan, seluruh panitia berkumpul untuk membentuk susunan kepanitiaan yang nantinya akan bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan acara. Aku ikut karena tuntutan, karena aku pernah menjadi ketua acara ditahun sebelumnya. Sebagai mantan ketua yang pernah merasakan pahit-manisnya acara, aku bergabung didalam kepanitiaan. Begitulah sistemnya, SC dan OC.

Diskusi demi diskusi kami laksanakan, hingga akhirnya aku menjadi bagian tim olah isi, personil yang mengurusi inti acara baik persiapan, kemauan maupun skill. Dengan kemampuan yang aku miliki, aku menyepakatinya dan mulai bertindak sebagai pelatih, salah satunya adalah Cup-Song.

Cup-Song, singkat namun menantang. Aku berfikir bagaimana caranya sebuah gelas plastik bisa menjadi instrumen yang sangat menarik dengan berbagai bumbu didalamnya. Awalnya ini bukanlah tugas yang aku emban, melainkan temanku yang lain. Akan tetapi berhubung beliau sibuk dan aku adalah satu-satunya tim acara yang senantiasa stay di sekolah, maka aku membantunya. Sedikit demi sedikit, aku memegang penuh amanah Cup-Song.

Mengapa harus Cup-Song? Salah satu tujuan dari acara kami yaitu mengkampanyekan penggunaan tumbler atau botol minum yang bisa digunakan berkali-kali. Harapannya masyarakat sadar akan penggunaan botol sekali pakai yang dapat merusak lingkungan karena sulit diuraikan dan didaur ulang. Itulah sebabnya, salah satu tampilan yang disajikan adalah instrumen Cup-Song.

Pendaftaran pertama, aku sangat optimis karena mendapatkan banyak partisipan yang mendaftar, terutama kelas 7 yang sekelas denganku. Lambat laun jumlah mereka berkurang karena berbagai hal. Ada siswa yang lebih ingin masuk perkusi barang bekas, ada yang bilang terlalu sibuk, ada yang belum memiliki bakat, ada juga yang ikut-ikutan bahkan tidak bertanggung jawab atas pendataan namanya.

Tiap malam aku memperhatikan bagaimana Cup-Song bisa dimainkan secara asyik dan renyah. Meskipun sebelumnya aku pernah melihat penampilan Cup-Song, akan tetapi melatih anak-anak jauh lebih rumit dari yang aku lihat di atas panggung. Tidak jarang aku diskusi bersama anggota tentang konsep dan dasar-dasar Cup-Song hingga akhirnya aku memahami betul bagian-bagian instrumen Cup-Song.

Latihan pertama, aku mencontohkan 3 pola bermain Cup-Song.
Pola 1 : dug – tak – dug – – tak
Pola 2 : dug – dug – pok – – tak
Pola 3 : pok – pok – du-du-dug – pok-tek-tak… pok-tek-pok-tek-pok – dug – tak  

Kebanyakan dari mereka memilih Pola yang ke-3 karena lebih banyak, lebih menarik dan lebih menantang. Begitulah anak-anak muda, ingin selalu tampil eksis meskipun konsep yang aku buat tidak selamanya pola ke-3.

Dalam perjalanannya, aku mendapati banyak kendala, diantaranya acara sekolah yang bejibun, aku harus berada diluar kota selama 1 pekan dan mengistirahatkan seluruh personil Cup-Song. Aku juga dibenturkan dengan job-desc yang kondisinya harus didampingi, tidak bisa ditinggalkan. Disamping itu, banyak dari personil yang akhirnya mengundurkan diri dengan berbagai alasan, ketidakjelasan acara adalah salah satunya. Aku sampai mengemis dan memohon kepada beberapa siswa yang memiliki kemampuan untuk ikut bergabung, disaat itu juga ada siswa yang mau tapi malu, mau tapi sibuk dan mau asalkan dengan teman dekatnya yang satu kelas. Tentu saja aku harus mengajak beberapa siswa lain agar tim Cup-Song menjadi sebuah kelompok yang kompak.

Setelah konsep 60% terbentuk, maka mulailah anak-anak memberikan saran untuk penampilan yang akan dimainkan. Pernah sempat kami membawakan lagu luar negeri yang akhirnya aku tolak dan menggantinya dengan lagu Manuk Dadali & Bogor Kota Beriman dengan 4 orang penyanyi inti. Tentu saja aku harus bisa memanfaatkan waktu seoptimal mungkin untuk mengajak mereka latihan, yakni pukul 12.30-13.00. Waktu yang singkat bukan? Betapa bahagianya aku karena ada pengakuan dari tim untuk meluangkan waktunya demi latihan. Mereka mendengarkanku, berkumpul dan fokus, padahal bisa saja mereka asyik ngobrol menunggu jam belajar sesi siang dimulai atau jajan dikantin dengan teman-teman yang lain. Bagiku, latihan Cup-Song, begitu memiliki makna.

Pernah sekali personil kelas 7 dikeluarkan dari kelas karena kami latihan melebihi pukul 13.00. Bukankah itu tidak adil? Kami berusaha semaksimal mungkin sebagai representative program sekolah namun tidak didukung sepenuhnya. Ingin rasanya aku meminta maaf kepada mereka. Tapi, yasudahlah…

Gelas yang menjadi masalah latihan, akhirnya ditanggung oleh rekan panitia agar latihan bisa berjalan rutin. Selalu aku rapikan gelas yang sudah dipakai dan disimpan didalam loker kerjaku agar tidak berserakan dan hilang. Begitulah kami setiap hari, demi mensukseskan acara yang telah dipercayakan kepada kami. Tidak hanya Hari Bumi, tapi juga Open Mind Event orang tua siswa baru, saran yang diajukan oleh Mr. Good.

***

Hari ini…
07:40 Aku datang kesekolah dengan nada & ekspresi seperti biasanya. Lain dari biasanya, aku tidak membawa sepeda karena pagi ini hujan turun sehingga komunitas sepeda diistirahatkan. Selesai shalat dhuha, anak-anak mengikuti sesi mentoring yang membahas tentang “batasan pergaulan ikhwan & akhwat” dengan pembagian kelompok sesuai dengan kelasnya. Beberapa walikelas begitu reaktif menerima saran dari Leader terkait pembahasan ini, berhubung ada beberapa kasus yang sangat tidak mencerminkan diri seorang muslim. Aku memperhatikan mentoring tersebut sampai penutupan.

09.40 Aku mendengar Madam kecewa karena murid-muridnya banyak yang absen/tidak masuk sekolah. 2 orang diantaranya adalah anggota Cup-Song. Awalnya aku merespon dengan biasa, akan tetapi semua berubah ketika Madam memberikan hukuman kepada mereka. Disamping itu, Ia mendapatkan kabar dari salah satu orang tua bahwa seorang siswa akan datang siang, demi mengikuti kegiatan gladiresik Cup-Song di sekolah.

Entah apa yang dipikirkannya, ia langsung memintaku untuk mencoret nama personil Cup-Song dari list dan tidak mengizinkannya ikut. Pernyataan tersebut dipertegas oleh Leader dengan alasan, “siswa yang datang disiang hari, tidak menghargai pembelajaran dipagi hari dan lebih mengutamakan Cup-Song. Tidak masalah ‘kan apabila satu orang kita coret karena hari ini tidak masuk? Tidak mempengaruhi suara & ketukan bukan? Silahkan disuruh pulang!” Hal inilah yang menjadi sebab dari segala kegalauan saya.

Tiba-tiba langit terasa runtuh. Aku adalah orang dibaris terdepan yang mengkoordinir tim Cup-Song. Mendengar pesan tersebut, aku sempat menimpali dan mempertanyakannya terutama alasan 2 siswa Cup-Song yang pagi ini tidak masuk dan ingin datang siang. Menurutku, bukan masalah kehilangan ketukan dan suara, atau jumlah personil, melainkan pengorbanan yang telah dikontribusikan kepada Cup-Song. Waktu istirahat yang tersita untuk latihan, sekaligus momen H-1 menjelang acara berlangsung. Seorang anak izin itu sah-sah saja, terlebih yang memberi kabar adalah orang tuanya. Masalah?

Dalam kondisi tersebut, aku menyadari bahwa aku bukanlah siapa-siapa. Aku bukan kepala sekolah ataupun walikelas siswa Cup-Song. Aku juga tidak bisa menantang seseorang yang sikapnya sangat saklek terhadap aturan. Aku mulai dihantui perasaan bersalah. Dalam kebimbangan tersebut, tiba-tiba ada suara Mr. Good yang begitu menyejukkan, seolah kehadirannya dari surga. Ia berkata, “Apakah sanksinya bisa diganti dengan yang lain, tanpa mencoret anggota Cup-Song?”

Meskipun saran tersebut sepertinya diabaikan, setidaknya hal itu telah memberikan titik terang kepadaku. Aku mulai melamun dan terus mencari jalan keluar atas semua yang telah terjadi. Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya langsung kepada 2 anak tersebut, berhubung ponsel mereka pasti ada ditangan mereka, tidak seperti siswa disekolah yang tidak memegang ponsel karena dikumpulkan.

Aku memahami kondisi diantara kedua siswa tersebut. Satu diantaranya sakit perut dan satu yang lain sedang melakukan pengayaan ditempat bimbelnya. Pergantian jadwal tersebut dilakukan karena jadwal rutin mingguannya digunakan untuk perform Cup-Song. Betapa dalamnya perjuangan anak tersebut, demi kelulusan UN, demi penampilan Cup-Song, ia harus merubah jadwal dan izin sekolah. Aku paham.

Sesegera mungkin aku memberi kabar kepada keduanya untuk tidak datang disiang hari karena akan ada seseorang yang menyuruhnya pulang. Aku menyayangkan ongkos dan energi yang akan dikeluarkan nantinya. Aku juga meminta kepada orang tua untuk memberikan kabar bahwa ketidakhadirannya disekolah adalah dikarenakan urusan urgent. Khawatir kekecewaan dan kebencian muncul ketika kehadiran disekolah justru tidak diharapkan. Sakit.

Aku tidak mau bersikap su’uzhan/buruk sangka. Mr. Good menyayangkan akan kebijakan yang diputuskan dipagi itu dan mencoba menghiburku untuk tidak memikirkan masalah ini. Akan tetapi, aku menganggap masalah ini adalah masalah yang serius. Antara kehormatan, kepercayaan, emosi, aturan, dan menjaga perasaan orang lain.

Selepas shalat Jum’at, aku berusaha bernegosiasi dengan Leader terkait pesan yang telah disampaikan tadi pagi kepada saya. Hasilnya adalah, Leader mengizinkan dengan syarat izin ke Madam. Sungguh diluar dugaan, do’aku dijabah. Allah maha membolak-balikan hati manusia.

Saat komunitas berlangsung, aku masih melamun memikirkan sesuatu yang masih menempel dikepalaku, tidak terlihat namun memberatkan, ya kondisi personil Cup-Song yang tidak masuk. Menjelang siang, sesuai rencanaku anak-anak tidak datang disiang hari meski tidak ikut gladiresik sekalipun.

Seusai komunitas, acara gladiresik dimulai, seperti dugaanku sebelumnya, tim Cup-Song tidak lengkap karena beberapa diantaranya ada yang mengikuti club & futsal. Waktu terus berjalan, meskipun tidak lengkap, kami tetap melanjutkan acara. Disusul performance Alif bermain solo gitar dan persiapan perkusi.

Kegiatan ditunda karena shalat Ashar. Seusai shalat, aku menghampiri Madam yang sedang merapikan mukena. Aku mengutarakan kembali maksudku, yakni mengizinkan siswa ikut Cup-Song meskipun hari ini tidak hadir. Maka inilah jawabannya,

“Itu keputusan bukan saya yang mengucapkan, melainkan Leader, maka silahkan tanyakan kepada beliau. Ternyata yang ada dipikiran kami adalah hal yang sama. Saya kecewa karena belakangan ini banyak siswa yang absen setiap hari Jum’at karena malas. Selalu saja ada alasan untuk bisa bolos, entah itu sakit, pergi dan lainnya. Saya menyayangkan anak yang hanya datang siang untuk Cup-Song, tidak memperdulikan pembelajaran dipagi hari. Bagi saya itu tidak mencerminkan akhlak yang baik. Seolah sekolah ini milik dia, dan dia bebas berbuat semaunya, maka saya sarankan, untuk yang seperti itu sebaiknya tidak ikut tampil. Saya sih terserah, tergantung kebijakan bapak. Berhubung tidak ada anak yang sengaja datang siang.”

Ada setitik harapan untuk bisa merekrut kembali harapan yang hampir putus diantara aku dan anggota Cup-Song. Hal ini terus menjadi rahasia antara aku, Leader, Madam dan Mr. Good. Tidak ada yang tahu kecuali kami.

***

Sore menjelang maghrib, Madam mengoprek ponselku karena meminta foto latihan untuk dikirimkan ke ponselnya via WhatsApp, seketika aku rebut khawatir riwayat chatnya dibaca, aku menyenggolnya sampai ponselku terjatuh. Sungguh perjuangan yang luar biasa. Andaikan obrolanku dibaca, mungkin aku akan mendapatkan teguran atau mungkin hanya ketakutanku saja.

Aku berusaha semaksimal mungkin untuk tidak mendukung salah satu pihak yang berkepentingan. Aku adalah aku. Aku adalah pelatih Cup-Song, maka aku mempunyai wewenang untuk mensukseskan acaraku, acara semua. Aku tidak ingin mengurangi ekspetasi ketua pelaksana yang hari kemarin melihat hanya karena masalah sepele disekolah. Aku berharap Leader bisa bersikap bijak. Andaikan seorang tidak mengikuti kelas mentoring dengan tema “batasan pergaulan ikhwan dan akhwat,” maka konklusinya adalah mencari informasi tentang tema tersebut, baik itu mencatat atau browsing atau dipresentasikan, kurasa itu lebih nyambung dibandingkan dengan hukuman mencoret keanggotaan Cup-Song.

Urun saran, terkait absen anak dihari Jum’at, mungkin yang menjadi salah satu faktor pemicunya adalah kejenuhan akibat kegiatan yang monoton. Mungkin evaluasinya bisa kita bicarakan agar lebih menarik dan lebih mengesankan dimata dan dihati anak-anak.

Semoga bermanfaat


“Beberapa tokoh dalam cerita ini saya tulis dalam nama samaran…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar