Pengajian bulanan SDM & Komite SAB
Jum’at, 16 Mei 2014 @ Mushola SM
Oleh: Ust. Rofiq Hidayat, Lc.
“Batasan
Pergaulan Dalam Islam”
Temans, meskipun kita semua
(sebagai peserta pengajian) sudah mendapatkan handsout materi pengajian hari
ini, namun izinkan saya untuk mengulas apa yang sudah kita simak bersama-sama
hari ini. Boleh jadi ada beberapa materi tambahan yang belum tertulis di lembar
kopian tersebut dan baru dibahas saat pengajian berlangsung. Allahualam, tidak
ada salahnya untuk mengkaji kembali apa-apa yang sudah kita dapat, terutama
ilmu agama. Yuk kita review sejenak…
***
Muqodimah:
Semua orang beriman harus
dipastikan memiliki ilmu karena upayanya dalam belajar dan sudah menjadi
kewajiban bagi kita yang memiliki ilmu untuk beramal. Mengetahui sesuatu disini
bukan dalam hal yang umum, melainkan ilmu agama yang diperdalam. Akan menjadi
sia-sia hasilnya jika memiliki banyak wawasan tetapi tidak sesuai dengan amalan
Nabi dan Rasul terdahulu. Misalnya berbuka puasa pukul 8 malam, atau
melaksanakan shalat subuh sebanyak 5 rakaat, aneh ‘bukan?
Untuk contoh lain, saat kita
menyembelih hewan, cukup dengan membacakan “BismillahiAllahuakbar” karena sudah
dicontohkan Nabi dan Rasul terdahulu. Tak perlu lagi kita menambahkan do’a yang
dikhawatirkan justru malah menyimpang dari agama Allah swt. Dalam hal ini
“tidak ada ijtihad dalam urusan beribadah,” niat dalam hati dan cara (secara
perbuatan) harus sinkron/berkaitan satu sama lain. Tidak masuk akal kiranya
seseorang melakukan puasa sunnah namun dengan tujuan mendapatkan kekuatan ghaib
dan kekayaan yang melimpah ruah. Aneh ‘kan?
Dalam kesempatan yang berbahagia
ini, kita akan membahas terkait pendidikan dan pergaulan dalam sudut pandang
Islam. Setidaknya kita perlu menyamakan perspektif terlebih dahulu sebelum kita
mulai membahas kasus-kasus yang ada saat ini. Mari kita bahas!
***
Pola pendidikan (mencakup segala
aspek), seyogyanya dilandaskan atas dasar apa? Kita sebagai umat muslim sepakat
bahwa kita harus menggunakan semua dalil sebagai sumber ilmu/pendidikan untuk
anak-anak maupun orang dewasa. Jangan sampai kita mengikuti arus ilmiah yang
dilakukan dengan dalil orang-orang kafir, semua harus ada Nash Syar’inya.
Tujuan perbedaan penciptaan
manusia (ada Sunda, Jawa, bule, negro, dll.) dilakukan agar manusia saling
mengenal satu sama lain. Dalam hal ini, manusia hanya diberikan “hak menerima”
oleh Allah swt. tanpa disertai dengan “hak gugatan” (untuk melawan takdir)
karena sesungguhnya rencana Allah swt adalah rencana terbaik (bersifat mutlak).
Allah swt tidak melihat rupa atau apapun yang ada pada jasmani kita, yang
membedakan hanyalah ‘ketaqwaan’ masing-masing individu terhadap Allah swt.
Allah swt melihat semua amal
perbuatan yang telah kita lakukan sebagai akses kesempatan/wilayah untuk meraih
ketaqwaan dimata Allah swt. dengan tujuan yakni masuk surga (dengan ridhaNya).
Jika aturan Allah swt yang sudah
jelas ini dilanggar, tentu akan timbul banyak masalah yang dampaknya
berpengaruh pada kehidupan manusia itu sendiri. Misal ras superior (orang-orang
Yahudi) menganggap golongan lain ‘domba’ (astagfirullah), kelompok Arya di Jerman,
atau ras kulit putih yang menindas kulit hitam, mereka semua seolah melegalkan
penindasan yang sudah jelas tidak ada contoh kebenarannya.
Dalam QS. Al-Hujurat: 13
menjelaskan bahwa penciptaan dari awal sudah “berbeda,” ketentuan Allah swt
yang tidak dapat diubah lagi. Perbedaan ini bukan untuk diperdebatkan melainkan
untuk saling melengkapi. Ditegaskan pula oleh surat An Nisa: 124 yang
memberitahukan bahwa ada “kesamaan” dalam perbuatan amal-amal soleh.
Tawazun (berimbang) adalah
kodrat yang seharusnya kita pegang teguh selalu. Ada hitam ada putih, ada suka
ada duka, gembira-sedih, diberikan untuk mewarnai kehidupan yang kita jalani. Perbedaan
membawa keseimbangan, tanpa itu akan muncul kerusuhan. Para Sahabat (termasuk
kita sampai saat ini) bahagia jika mendengar keindahan surga dan bisa juga
mengangis saat keadaan neraka diceritakan.
Orang yang bisa menyelamatkan
manusia dari neraka kedalam surge haruslah orang yang memiliki banyak amal
solih. Oleh karena itu, ‘dengan siapa kita berada’ dapat menentukan kualitas
diri kita terhadap amal-amal yang kita
lakukan.
Siapa pembuat hukum yang
terbaik? Jelas jawabannya hanya satu, Allah swt. Andai negeri ini menggunakan
hukum Allah swt dalam menyikapi sesuatu, pasti semua terkondisikan. Pencuri dipotong
tangannya-malu-jera-taubat. Tidak ada penjara yang hanya mengurangi devisa negara.
Pembunuh, penzina, koruptor, maling ayam semua dipenjara, dimana letak
keadilan? Picik kiranya kita hanya mementingkan diri sendiri dan keluarga, “yang
penting bukan istri atau anak saya yang berzina.”
***
Tanggung jawab pendidikan anak
yang pertama dan utama adalah dipundak orang tua. Pihak pertama yang
menjadikannya suci-fitrah (Islam), Yahudi, Nasrani ataupun Majusi. Kewajiban yang
harus digenggam sampai anak mencapai masa baligh, merupakan urusan keluarga
untuk memposisikan status anak tersebut, dimana sekolahnya? Dengan siapa
pergaulannya? Dengan cara apa dididiknya? Dsb.
Selalu waspada terhadap godaan
setan-iblis terhadap manusia yang selalu memainkan hawa nafsu. Pesan Ibrahim
as: salah satu langkah setan adalah membuat manusia beribadah akan tetapi membuatnya
tak bermanfaat/diteruma. Dalam hal ini kita dituntut agar lebih jenius dalam
mensiasati ancaman musuh manusia, iblis.
Anak itu seperti kertas kosong,
dimana orang tualah yang mencoret arsiran didalamnya. Orang tua berpendidikan
akan menata dan merapikan anaknya sebaik mungkin, orang tua yang gila bola,
tidak menutup kemungkinan anaknya mendapatkan nama dari pemain sepak bola
(seperti Zidan, Ronaldo, dll), begitupun orang tua yang lainnya.
Hati-hati memberikan nama pada
anak, dikhawatirkan memiliki arti yang kurang baik untuk anak tersebut. Nama adalah
do'a, pada zaman Rasulullah saw, banyak sahabat yang namanya diganti, untuk
memberikan do’a yang baik untuk mereka.
Muatan ilmu & akhlak guru
selalu ditiru oleh muridnya. Dibenarkan dan diimplementasikan oleh murid tanpa
ada penyaring dalam diri murid. Apa yang dilakukan guru dan menirukannya pasti
benar, itulah anggapan semua anak. Jika kita tidak tahu terhadap sesuatu, cukup
katakana ‘tidak tahu’ karena jika kita bersikap ‘sok tahu’ justru menjadi penyesatan
ilmu dan guru adalah orang yang harus disalahkan.
Diamnya guru terhadap pernyataan
murid merupakan persetujuan sepihak oleh murid. Dilema ketika makna guru tidak
diberikan haknya, yakni ilmu & akhlak. Perlu ada peningkatan kompetensi
untuk para guru agar posisi ilmunya tetap diatas murid, jangan sampai guru
tidak tahu apa-apa (kudet).
Enaknya menjadi seorang gur
yaitu mendapatkan amal perbuatan yang tidak terputus-putus terkait ilmu kita
yang diamalkan kepada murid. Misal mengajari anak ‘menghafal surat al-fatihah,’
siapa yang menanam, siapa yang menuang, pahalanya luar biasa. Kalau benar
mengajarkannya “good,” kalau salah mendapat “double dosa” dan turun tingkat
keimanannya terhadap keburukan yang disampaikan. Berhati-hatilah wahai para
guru, selalu bentengi dengan ilmu. Semua ada ilmunya.
Mualim-orang yang mentransper
ilmu, Muatib-meneruskan adab dan ilmu, Murrobi-mencptakan, mengasuh, memlihara
dan membimbing, Tarbiyah-pendidikan, pembinaan ilmu. Guru mencakup kesemua
aspek diatas.
Seharusnya ada momen dimana
orang tua-murid-guru duduk bersama untuk menentukan jalan/cita-cita anak dan
menyelesaikan suatu masalah (jika terjadi). Hindari mencari kambing hitam saat
terjadi kegagalan/penyimpangan anak didik. (guru menganggap orang tua kurang
benar membimbing anak, orang tua menganggap guru tidak berhasil mendidik anak, pemikiran
inilah yang perlu dihindari)
Peran ibu lebih diutamakan,
dalam syair diceitakan, “Ibu adalah sebuah madrasah (tempat pendidikan) jika
kamu menyiapkannya. Berarti kamu menyiapkan (lahirnya) sebuah masyarakat yang
baik budi pekertinya.
Imam syafii dididik oleh ibunya
yang merupakan seorang hafizah Qur’an yang menjadikan beliau menjadi seperti
ini. Disamping itu, imam syafii kecil selalu belajar dengan ulet, yang
membedakan dirinya dengan teman-teman sebayanya.
Seorang ibu sebaiknya berada
dirumah untuk memenej keadaan dirumah, kondisi ekonomi dan keperluan keluarga
lainnya. Posisi ayah yang seharusnya mensuplai ilmu terhadap istinya,
transformasi dari kesibukkannya dirumah agar tidak kehilangan suplai data.
Anak-anak tanggung jawab terhadap
orang tua, guru bertanggung jawab terhadap anugrah/ilmu. Ingatlah bahwa setiap
manusia akan dimintai pertanggungjawaban. Laki-laki dan perempuan sudah
dibedakan hak dan kewajibannya dalam agama. Jangan pernah katakan ‘emansipasi’ jikalau
konsepnya bertabrakan dengan Islam.
Akhwat (wanita) mendapat jumlah
waris setengah dari ikhwan, butuh 2 orang untuk menjadi saksi yang sah, menutup
aurat lebih banyak dan ikhwan, merasakan proses kelahiran anak, tidak memilik
talak terhadap suami, melakukan segala aktifitas dirumah, dan lain sebagainya
merupakan aturan yang harus diterima. Malah tidak adil jika disamakan, memunculkan
nusus/kemungkinan pembangkangan dari segala pihak.
Batasan laki-laki dan perempuan:
·
Laki-laki harus menundukkan pandangan kepada
wanita dan wanita harusw menundukkan pandangan terhadap laki-laki
·
Tidak berjabat tangan
·
Tidak berkhalwat
·
Tidak boleh melihat aurat orang lain walaupun
sejenis
·
Tidak ikhtilat
·
Laki-laki tidak boleh tidur dalam satu selimut
dengan laki-laki, demikian pula perempuan.
·
Wanita harus tegas dan tidak boleh bersuara
manja ketika berbicara dengan laki-laki asing
Kasus yang banyak terjadi saat
ini seperti JIS dan Em*n merupakan bagian dari pelanggaran batasan diatas. Ingatlah
selalu syaithan selalu berada didekat kita. Bentengi iman kita termasuk anak
didik kita dengan menyebutkan hal-hal yang diperbolehkan dan tidak
diperbolehkan, seperti “bagian ini hanya boleh dilihat sama ini dengan cara
seperti ini saat kondisi saat ini.” Benteng/imun paling dasar untuk anak-anak.
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar