Senin, 19 Mei 2014

"batasan pergaulan islam" pengajian SDM SAB Jum'at 16 Mei 2014



Pengajian bulanan SDM & Komite SAB
Jum’at, 16 Mei 2014 @ Mushola SM
Oleh: Ust. Rofiq Hidayat, Lc.
“Batasan Pergaulan Dalam Islam”
Temans, meskipun kita semua (sebagai peserta pengajian) sudah mendapatkan handsout materi pengajian hari ini, namun izinkan saya untuk mengulas apa yang sudah kita simak bersama-sama hari ini. Boleh jadi ada beberapa materi tambahan yang belum tertulis di lembar kopian tersebut dan baru dibahas saat pengajian berlangsung. Allahualam, tidak ada salahnya untuk mengkaji kembali apa-apa yang sudah kita dapat, terutama ilmu agama. Yuk kita review sejenak…
***
Muqodimah:
Semua orang beriman harus dipastikan memiliki ilmu karena upayanya dalam belajar dan sudah menjadi kewajiban bagi kita yang memiliki ilmu untuk beramal. Mengetahui sesuatu disini bukan dalam hal yang umum, melainkan ilmu agama yang diperdalam. Akan menjadi sia-sia hasilnya jika memiliki banyak wawasan tetapi tidak sesuai dengan amalan Nabi dan Rasul terdahulu. Misalnya berbuka puasa pukul 8 malam, atau melaksanakan shalat subuh sebanyak 5 rakaat, aneh ‘bukan?
Untuk contoh lain, saat kita menyembelih hewan, cukup dengan membacakan “BismillahiAllahuakbar” karena sudah dicontohkan Nabi dan Rasul terdahulu. Tak perlu lagi kita menambahkan do’a yang dikhawatirkan justru malah menyimpang dari agama Allah swt. Dalam hal ini “tidak ada ijtihad dalam urusan beribadah,” niat dalam hati dan cara (secara perbuatan) harus sinkron/berkaitan satu sama lain. Tidak masuk akal kiranya seseorang melakukan puasa sunnah namun dengan tujuan mendapatkan kekuatan ghaib dan kekayaan yang melimpah ruah. Aneh ‘kan?
Dalam kesempatan yang berbahagia ini, kita akan membahas terkait pendidikan dan pergaulan dalam sudut pandang Islam. Setidaknya kita perlu menyamakan perspektif terlebih dahulu sebelum kita mulai membahas kasus-kasus yang ada saat ini. Mari kita bahas!
***
Pola pendidikan (mencakup segala aspek), seyogyanya dilandaskan atas dasar apa? Kita sebagai umat muslim sepakat bahwa kita harus menggunakan semua dalil sebagai sumber ilmu/pendidikan untuk anak-anak maupun orang dewasa. Jangan sampai kita mengikuti arus ilmiah yang dilakukan dengan dalil orang-orang kafir, semua harus ada Nash Syar’inya.
Tujuan perbedaan penciptaan manusia (ada Sunda, Jawa, bule, negro, dll.) dilakukan agar manusia saling mengenal satu sama lain. Dalam hal ini, manusia hanya diberikan “hak menerima” oleh Allah swt. tanpa disertai dengan “hak gugatan” (untuk melawan takdir) karena sesungguhnya rencana Allah swt adalah rencana terbaik (bersifat mutlak). Allah swt tidak melihat rupa atau apapun yang ada pada jasmani kita, yang membedakan hanyalah ‘ketaqwaan’ masing-masing individu terhadap Allah swt.
Allah swt melihat semua amal perbuatan yang telah kita lakukan sebagai akses kesempatan/wilayah untuk meraih ketaqwaan dimata Allah swt. dengan tujuan yakni masuk surga (dengan ridhaNya).
Jika aturan Allah swt yang sudah jelas ini dilanggar, tentu akan timbul banyak masalah yang dampaknya berpengaruh pada kehidupan manusia itu sendiri. Misal ras superior (orang-orang Yahudi) menganggap golongan lain ‘domba’ (astagfirullah), kelompok Arya di Jerman, atau ras kulit putih yang menindas kulit hitam, mereka semua seolah melegalkan penindasan yang sudah jelas tidak ada contoh kebenarannya.
Dalam QS. Al-Hujurat: 13 menjelaskan bahwa penciptaan dari awal sudah “berbeda,” ketentuan Allah swt yang tidak dapat diubah lagi. Perbedaan ini bukan untuk diperdebatkan melainkan untuk saling melengkapi. Ditegaskan pula oleh surat An Nisa: 124 yang memberitahukan bahwa ada “kesamaan” dalam perbuatan amal-amal soleh.
Tawazun (berimbang) adalah kodrat yang seharusnya kita pegang teguh selalu. Ada hitam ada putih, ada suka ada duka, gembira-sedih, diberikan untuk mewarnai kehidupan yang kita jalani. Perbedaan membawa keseimbangan, tanpa itu akan muncul kerusuhan. Para Sahabat (termasuk kita sampai saat ini) bahagia jika mendengar keindahan surga dan bisa juga mengangis saat keadaan neraka diceritakan.
Orang yang bisa menyelamatkan manusia dari neraka kedalam surge haruslah orang yang memiliki banyak amal solih. Oleh karena itu, ‘dengan siapa kita berada’ dapat menentukan kualitas diri  kita terhadap amal-amal yang kita lakukan.
Siapa pembuat hukum yang terbaik? Jelas jawabannya hanya satu, Allah swt. Andai negeri ini menggunakan hukum Allah swt dalam menyikapi sesuatu, pasti semua terkondisikan. Pencuri dipotong tangannya-malu-jera-taubat. Tidak ada penjara yang hanya mengurangi devisa negara. Pembunuh, penzina, koruptor, maling ayam semua dipenjara, dimana letak keadilan? Picik kiranya kita hanya mementingkan diri sendiri dan keluarga, “yang penting bukan istri atau anak saya yang berzina.”
***
Tanggung jawab pendidikan anak yang pertama dan utama adalah dipundak orang tua. Pihak pertama yang menjadikannya suci-fitrah (Islam), Yahudi, Nasrani ataupun Majusi. Kewajiban yang harus digenggam sampai anak mencapai masa baligh, merupakan urusan keluarga untuk memposisikan status anak tersebut, dimana sekolahnya? Dengan siapa pergaulannya? Dengan cara apa dididiknya? Dsb.
Selalu waspada terhadap godaan setan-iblis terhadap manusia yang selalu memainkan hawa nafsu. Pesan Ibrahim as: salah satu langkah setan adalah membuat manusia beribadah akan tetapi membuatnya tak bermanfaat/diteruma. Dalam hal ini kita dituntut agar lebih jenius dalam mensiasati ancaman musuh manusia, iblis.
Anak itu seperti kertas kosong, dimana orang tualah yang mencoret arsiran didalamnya. Orang tua berpendidikan akan menata dan merapikan anaknya sebaik mungkin, orang tua yang gila bola, tidak menutup kemungkinan anaknya mendapatkan nama dari pemain sepak bola (seperti Zidan, Ronaldo, dll), begitupun orang tua yang lainnya.
Hati-hati memberikan nama pada anak, dikhawatirkan memiliki arti yang kurang baik untuk anak tersebut. Nama adalah do'a, pada zaman Rasulullah saw, banyak sahabat yang namanya diganti, untuk memberikan do’a yang baik untuk mereka.
Muatan ilmu & akhlak guru selalu ditiru oleh muridnya. Dibenarkan dan diimplementasikan oleh murid tanpa ada penyaring dalam diri murid. Apa yang dilakukan guru dan menirukannya pasti benar, itulah anggapan semua anak. Jika kita tidak tahu terhadap sesuatu, cukup katakana ‘tidak tahu’ karena jika kita bersikap ‘sok tahu’ justru menjadi penyesatan ilmu dan guru adalah orang yang harus disalahkan.
Diamnya guru terhadap pernyataan murid merupakan persetujuan sepihak oleh murid. Dilema ketika makna guru tidak diberikan haknya, yakni ilmu & akhlak. Perlu ada peningkatan kompetensi untuk para guru agar posisi ilmunya tetap diatas murid, jangan sampai guru tidak tahu apa-apa (kudet).
Enaknya menjadi seorang gur yaitu mendapatkan amal perbuatan yang tidak terputus-putus terkait ilmu kita yang diamalkan kepada murid. Misal mengajari anak ‘menghafal surat al-fatihah,’ siapa yang menanam, siapa yang menuang, pahalanya luar biasa. Kalau benar mengajarkannya “good,” kalau salah mendapat “double dosa” dan turun tingkat keimanannya terhadap keburukan yang disampaikan. Berhati-hatilah wahai para guru, selalu bentengi dengan ilmu. Semua ada ilmunya.
Mualim-orang yang mentransper ilmu, Muatib-meneruskan adab dan ilmu, Murrobi-mencptakan, mengasuh, memlihara dan membimbing, Tarbiyah-pendidikan, pembinaan ilmu. Guru mencakup kesemua aspek diatas.
Seharusnya ada momen dimana orang tua-murid-guru duduk bersama untuk menentukan jalan/cita-cita anak dan menyelesaikan suatu masalah (jika terjadi). Hindari mencari kambing hitam saat terjadi kegagalan/penyimpangan anak didik. (guru menganggap orang tua kurang benar membimbing anak, orang tua menganggap guru tidak berhasil mendidik anak, pemikiran inilah yang perlu dihindari)
Peran ibu lebih diutamakan, dalam syair diceitakan, “Ibu adalah sebuah madrasah (tempat pendidikan) jika kamu menyiapkannya. Berarti kamu menyiapkan (lahirnya) sebuah masyarakat yang baik budi pekertinya.
Imam syafii dididik oleh ibunya yang merupakan seorang hafizah Qur’an yang menjadikan beliau menjadi seperti ini. Disamping itu, imam syafii kecil selalu belajar dengan ulet, yang membedakan dirinya dengan teman-teman sebayanya.
Seorang ibu sebaiknya berada dirumah untuk memenej keadaan dirumah, kondisi ekonomi dan keperluan keluarga lainnya. Posisi ayah yang seharusnya mensuplai ilmu terhadap istinya, transformasi dari kesibukkannya dirumah agar tidak kehilangan suplai data.
Anak-anak tanggung jawab terhadap orang tua, guru bertanggung jawab terhadap anugrah/ilmu. Ingatlah bahwa setiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban. Laki-laki dan perempuan sudah dibedakan hak dan kewajibannya dalam agama. Jangan pernah katakan ‘emansipasi’ jikalau konsepnya bertabrakan dengan Islam.
Akhwat (wanita) mendapat jumlah waris setengah dari ikhwan, butuh 2 orang untuk menjadi saksi yang sah, menutup aurat lebih banyak dan ikhwan, merasakan proses kelahiran anak, tidak memilik talak terhadap suami, melakukan segala aktifitas dirumah, dan lain sebagainya merupakan aturan yang harus diterima. Malah tidak adil jika disamakan, memunculkan nusus/kemungkinan pembangkangan dari segala pihak.
Batasan laki-laki dan perempuan:
·         Laki-laki harus menundukkan pandangan kepada wanita dan wanita harusw menundukkan pandangan terhadap laki-laki
·         Tidak berjabat tangan
·         Tidak berkhalwat
·         Tidak boleh melihat aurat orang lain walaupun sejenis
·         Tidak ikhtilat
·         Laki-laki tidak boleh tidur dalam satu selimut dengan laki-laki, demikian pula perempuan.
·         Wanita harus tegas dan tidak boleh bersuara manja ketika berbicara dengan laki-laki asing
Kasus yang banyak terjadi saat ini seperti JIS dan Em*n merupakan bagian dari pelanggaran batasan diatas. Ingatlah selalu syaithan selalu berada didekat kita. Bentengi iman kita termasuk anak didik kita dengan menyebutkan hal-hal yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan, seperti “bagian ini hanya boleh dilihat sama ini dengan cara seperti ini saat kondisi saat ini.” Benteng/imun paling dasar untuk anak-anak.

Semoga bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar