Jumat, 30 Mei 2014

mabit 2, pak ridwan-sejarah sab



Mabit II SDM Salam
Rabu-Kamis, 28-29 Mei 2014 @Ibnu Hajar, Katulampa
Oleh: Pak Ridwan (salah satu penggagas SAB)
“Asal-muasal berdirinya Sekolah Alam Bogor”

Siapakah penggagas Sekolah Alam Bogor? Apa itu Yayasan Progress Insani? Seringkali kita mendengar nama “Pak Ridwan” diantara nama pak Husnan dan pak Agus, namun kehadirannya hampir tidak pernah terlihat diantara kita. Siapakah beliau? Yuk kita simak asal-muasal berdirinya SAB menurut versi dari pak Ridwan, rekan-sahabat sekaligus keluarga kita di sini yang kehadirannya sangat jarang ditemui, khususon untuk SDM baru, ayo mengenal lebih dekat! Perjalanan “Mabit ke-2” pun dimulai…
***
Apa yang sudah teman-teman lakukan disekolah (lapangan flamboyan) sebelum berangkat ke Ibnu Hajar? Bu Diena membagi seluruh SDM nya membagi 2 kelompok dengan kriteria “siapa saja yang ikut acara mabit dan yang tidak ikut acara mabit.”
Seperti sebuah kisah dalam sebuah kampung yang pemimpinnya meminta kepada seluruh warganya untuk berkumpul dan dipisahkan atas dasar, “siapa saja yang takut istri (disebelah kiri) dan siapa saja yang berani terhadap istrinya (sebelah kanan).” Ternyata semua ayah dan suami berpindah tempat kesebelah kiri (karena fakta tersebut), hanya ada 1 orang yang berada diposisi sebelah kanan. Setelah diinterogasi, ternyata alasan keberaniannya tersebut adalah karena “disuruh istri.” Hahahaa :D
 Pelajaran yang dapat kita ambil dari warga kampung tadi yaitu memberikan pesan secara tersirat agar tidak ada perasaan terpaksa saat kita berada disini dan saat ini, yaitu sekolah Ibnu Hajar. Pada dasarnya sekolah samasekali tidak pernah memaksa kehadiran teman-teman, hanya sebuah ide-rencana dan langkah terhadap program baru agar kita lebih dekat satu sama lain.
Berkerja sebagai PNS dengan seragam yang sebenarnya ‘berat’ untuk digunakan, disamping bahannya yang tidak nyaman ada tanggung jawab yang diemban oleh kami untuk mengayomi masyarakat. Sebenarnya kami di gaji oleh negara, akan tetapi karena yang punya negara adalah rakyat (secara demokrasi), maka secara tidak langsung kami digaji oleh rakyat. Berharap cepat sampai pada masa pensiun karena kesibukkan pekerjaan selalu membatasi ruang gerak termasuk tatap muka dengan Sekolah Alam Bogor, namun harus tetap bertahan sampai kurang lebih 4 tahun lagi untuk pensiun.
 Sebagai contoh, kalau pegawai negeri seperti beliau naik angkot, selalu dipojokkan oleh supir dan penumpang lain dengan berbagai serangan yang bertubi-tubi. Mulai dari kerusakan jalan (dulu jalan Tanah Baru belum dibeton seperti sekarang ini), kesejahteraan rakyat, perbandingan pekerjaan dengan upah-tunjangannya, pembahasan tentang tata kota serta visi-misi pemerintah, dan yang lainnya. Geram rasanya, seolah ada yang kurang dalam jiwa manusia yang selalu membanding-bandingkan, yaitu ‘rasa syukur.’
***
Berbicara soal ‘mabit,’ istilah yang biasa digunakan saat pegi Haji seperti mabit di Mina, Nibar dan lainnya, kini sudah tidak asing lagi untuk kita gunakan dalam keperluan/acara seperti ini. (semoga kita semua dapat pergi berhaji dan merasakan mabit disana, amiin).
Kembali ke SAB dan ikut berkumpul kembali dengan teman-teman disini, membuat saya terbayang akan masa lalu. Tentang jerih-payahnya mendirikan sekolah, tentang hal-hal baru yang dimunculkan, tentang keceriaan anak-anak termasuk masalah/persoalan berbagai pihak terhadap sekolah. Saking dinamisnya, kondisi SAB selalu “riweuh wae.” Tidak ada kata yang tepat kecuali ‘fluktuatif’ (grafik naik-turun).
Salah satu fakta yang perlu diperhatikan tentang persoalan sekolah, yaitu terkait kesejahteraan pendidik yang menjadi poin dilematis setiap tahunnya. Entahlah faktor apa yang membuatnya seperti ini, namun saya meyakini seleksi alam akan terus berlaku dimanapun kita berada. Termasuk teman-teman disini, ada yang baru 2 hari kedatangannya bahkan ada juga yang sudah sampai 10 tahun istiqomah di SAB, luar biasa ‘bukan?
Sebelum sekolah alam berada di Tanah Baru, dulu (sekitar 11 tahun yang lalu) Yayasan bekerjasama dengan investor dan menyewa lahan seluas 5.000 meter persegi ditengah-tengah keramaian kota, dikenal dengan nama “Lembah Parigi.” Namun karena berbagai alasan, sekolah kami dipindahkan ke tempat sewaan lain, yaitu di Tanah Baru. Beruntung pak Husnan segera mendapatkan tempat tersebut dalam waktu yang singkat.
Seiring bergantinya tempat, juga bertepatan dengan terkenalnya nama Sekolah Alam Indonesia (di Ciganjur waktu itu), kami pun mengganti nama menjadi Sekolah Alam Bogor. Khawatir kejadian yang sama terulang kembali, kami segera mengupayakan (padahal dana yang tersedia masih minim), untuk membeli tanah menjadi milik yayasan (ingat, dalam hal ini bukan perorangan). Segala pemasukan baik darimana pun datangnya (yang pasti halal), dipersiapkan untuk membeli lahan.
Awalnya hanya 300 – 500 ribu rupiah tiap meter persegi. Kemudian harga tersebut melejit setelah dibangun akses jalan tol menjadi 1,2 juta rupiah per meter persegi. Semangat dan lelah sudah mendarah daging, yang akhirnya tanah dibagian barat (kelas 6) berhasil dibeli atas nama yayasan.
“Milik siapa lahan ini pak? Dalam hitung-hitungan perusahaan harus ada pihak yang bertanggungjawab (berupa saham) terhadap ini. Bagaimana kalau pak Husnan memegang saham mayoritas dan saya saham minoritas, agar kedepannya status sekolah ini lebih jelas.” Ucap pak Ridwan, bertanya kepada pak Husnan terkait kepemilikan lahan tersebut.
“Tanah ini seluruhnya bukan milik kita atau perorangan, bukan juga milik yayasan melainkan tanah milik umat. Yayasan hanya sebagai pengurus terhadap tanah ini nantinya.” Jawab pak  Husnan dengan nada yang yakin, dalam ceritanya.
Dengan mudahnya pak Husnan berkata demikian, meskipun begitu  kekhawatiran masih ada karena beliau menyampaikan ini tanah umat, mungkin semua orang akan mengakui tanah tersebut dan mengaku-ngaku kepemilikannya. Sepakat kami menerima argumen tersebut.
Setelah saya pelajari, sekolah ini merupakan bisnis sosial yang harapannya bukan ‘sok-sial,’ dimana orang-orang nantinya bekerja dan digaji disini (Alhamdulillah terbukti dan mampu bertahan sampai 10 tahun ini). Sekolah yang awalnya ‘kecil’ ini, mulai tumbuh dan berkembang menjadi sekolah yang kami harapkan, mampu menampung lebih dari 100 guru disini, sebagai bentuk apresiasi nyata, berkat kerjasama teman-teman juga disini.
            Ibarat sebuah Negara pak Agus adalah seorang ideolog, pak Husnan sebagai produser dan pendobrak seluruh gagasan pak Agus. saya katakan bahwa beliau (pak Husnan) adalah invisibleman, karena keberadaannya tidak pernah terlihat (termasuk saat diboncengi sepeda motor). *qidd
Selama proses tersebut berlangsung, posisi yang telah kami pegang sangat beragam. Direktur, menejer, kepala pengelola atau apapun sebutannya (karena kondisi tertentu, tidak sedikit yang meledek). Hal ini dimaksudkan agar status individu disekolah lebih jelas terutama terkait pembagian jobdesc dengan yang lain.
Selain SAB, ada juga tempat lain yang sengaja dibuat kecil, lahannya kecil karena hanya untuk menampung anak-anak kecil. Yap, sekolah itu bernama ‘Eksploreee.’ Melanjutkan asa dan cita-cita yang telah dituliskan, langkah ini pun dilakukan dengan konsep yang sama dengan SAB. Belajar dari pengalaman, sekolah tingkat PG & TK ini lebih cepat dibangun dari yang telah diperkirakan. Dibantu oleh sepasang suami-istri yang menjadi investor atas berdirinya Eksploreee.
Pengalaman bekerja pada tahun 90’an advertisement agency di Jakarta banyak memberikan pelajaran, terutama kejujuran. Misal perlakuan terhadap produk, kita harus memberikan kesan positif seolah sudah memakai selama 10 tahun, padahal produk tersebut baru dibuat ketika 1 minggu yang lalu, ‘kan gak lucu. Bergelut dibidang pendidikan memang cita-cita namun seperti mimpi jadinya kalau yang petik menjadi seperti ini.
Yayasan ini, dimulai dari kegiatan sosial terhadap anak-anak jalanan, sehingga terbesit sebuah unit usaha-sekolah untuk memajukan kegiatan yang ada. Lembah Parigi merupakan titik awal perjalanan kami yang tidak pernah kami lupakan kenangannya.
Saat di Lembah Parigi, kondisinya sangat-sangat berbeda dari sekolah konvensional lainnya. Sekolah, pemancingan, restoran, aula pernikahan bergabung menjadi satu. Hampir semua anak nyemplung pada kolam yang banyak tersedia disana, sehingga kami menyebutnya “belajar di sakolah alam kudu di teuleum heula.” Kami sebagai guru mengatakan bahwa itu tidak bahaya, karena sebagian dari pembelajaran. Sekalipun sudah ditutup dengan net badminton, justru malah menimbulkan rasa penasaran anak, sehingga kami cabut kembali.
Berharap mendapatkan 20 murid yang mendaftar disemester pertama dan lucunya adalah rekrutmen terhadap orang tua dilakukan dengan cara ‘unik.’
“pak, sekolah kami membutuhkan 1 anak lagi, sudah ada 19 yang daftar. Adapun konsepnya… lingkungannya… bagaimana?” ucap pak Husnan & pak Agus. (mungkin dilakukan juga ke seluruh orang tua yang lain). hhe
Membuat saya menjadi sangat penasaran dan hendak bersegera mendaftar, yang ternyata padahal mah saya adalah pendaftar pertama di Lembah Parigi. Semua orang tua percaya dengan senyumannya pak Husnan yang sangat manis, citranya lebih hebat dari SBY saat ini. Adapun pak Agus dengan kacamata yang setengah turun ke pipi, terlihat seperti professor yang sangat menjanjikan. Memang demikian adanya, saya akui kehebatan mereka.
Perusahaan swasta membutuhkan waktu 15 tahun untuk mencapai tingkat seperti ini, sedangkan SAB hanya 7 tahun. Perkembangan yang lebih cepat dengan cara yang luar biasa. Tidak heran kalau sekolah ini menjadi tolok ukur dan tempat study dari sekolah lain.
Bangunan SM yang kini berdiri kokoh dibawah perumahan Al-Hasanah, mempunyai cerita yang tak kalah hebohnya. Setelah pondasi dibuat, ternyata kami menerima demo dari warga sekitar. Usut-punya usut dan berhubung suasana semakin panas, pemilik tanah akhirnya dapat menukar dengan lahan dekat sungai (yang sekarang). Banyak kenalan, banyak manfaat.
Menurut teori Kubik Leadership, adanya kecenderungan mengingkan sesuatu (to have) dan menjadi sesuatu (to be) adalah prinsip awal agar kita sukses. Yang dilakukan oleh pak Husnan dan pak Agus adalah ‘to be’ dahulu, kemudian ‘to have.’ Dibuat dulu dan dibuktikan dulu, fasilitas dan keinginan lain secara tidak langsung akan menariknya secara otomatis. Mereka berdua sudah memiliki rumah atas segala upayanya meskipun dalam cicilan. Jujurlah, siapa diantara kita yang tidak punya hutang. Apapun yang orang dapat, harus kita syukuri pula.
Terkait kesejahteraan, saat ini pembangunan sekolah sudah tutup buku, bukan karena tidak ingin, akan tetapi target saat ini adalah “bagaimana caranya membuat kesejahteraan untuk semua pihak?” Insyaa Allah selalu ada jalannya untuk ini.
Saat ini, kami masih mencari siapa yang berhak dan paling cocok diamanahi untuk melanjutkan tugas seperti mereka. Menggantikan perjuangan pak Husnan dan pak Agus kedepannya dengan segala persiapannya, tanpa alasan ‘tapi.’ Guru-guru lah yang mempunyai kesempatan itu.
Terus beribadah apapun bentuknya, berlomba-lombalah kita dalam kebaikan. Seorang guru yang telah lama mengabdi dipendidikan sampai usia 72 tahun, memiliki tanah luas dan beberapa hektar lahan sawit, hanya karena keberkahan menjadi seorang guru.
Sangat indah melihat perjalanan pak Husnan dan pak Agus yang telah memberikan banyak sekali manfaat, termasuk kepada saya. Berkat mereka, saat di Sengkawang, saat bertemu dengan pimpinan bernama pak Yusuf (diawal orangnya cuek dan kurang perhatian-nyebelin). Akan tetapi, sikap dan keadaan orang tersebut tiba-tiba ramah setelah mengetahui jabatan pak Ridwan, bahkan dianggap sebagai ‘sekda dari Bogor’ (orang paling sakti dipemerintahan) yang melakukan ‘visit to Indonesia’. Derajat seolah naik dan itu semua berkat kedekatan kami terhadap manfaat yang dilakukan mereka.
·         Kepada siapa kita meminta tolong yaitu kepada orang yang keyakinannya lebih dekat dengan Allah swt, yang penting dapat bekerja dapat apa yang kira-kira bermanfaat.
·         Jangan jadikan diri kita sebagai buruh-orang yang mentalnya selalu dipekerjakan, akan tetapi ambillah hikmah dari kisah ini.

Semoga bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar