Cerita PAI: DELIMA CINTA (ayah Imam Syafii)
Senin, 19 Januari 2015
Oleh: Pak Natiq
“KISAH IDRIS DAN DELIMA”
Suatu hari seorang lelaki muda hendak berangkat mengaji,
berjalan menyusuri pinggiran sungai. Tanpa sengaja matanya tertuju pada sebuah
buah delima yang hanyut. Delima itu tampak matang dan ranum. Warna merah delima
itu menggoda kerongkongan pemuda yang bernama Idris As Syafi’i. Tanpa menunggu
lama, dengan sebilah tongkat kayu sambil menginjak tepian sungai, ia mencoba
meraih delima ranum tersebut.
“Hupp….”
Delima itupun sampai dalam genggaman. Dalam kondisi lapar, tanpa pikir panjang ia langsung meraup delima demi mengganjal perutnya yang keroncongan. Gigitan demi gigitan delima itu dilahap nikmat. Setengah delima telah masuk ke dalam penggilingan usus, barulah ia bertanya dengan dirinya,
Delima itupun sampai dalam genggaman. Dalam kondisi lapar, tanpa pikir panjang ia langsung meraup delima demi mengganjal perutnya yang keroncongan. Gigitan demi gigitan delima itu dilahap nikmat. Setengah delima telah masuk ke dalam penggilingan usus, barulah ia bertanya dengan dirinya,
“Siapakah pemilik delima ini?”
“Aku yakin buah ini pasti
ada pemiliknya, yang kepadanya aku belum meminta ijin untuk memakannya.”
Demikian pertanyaan itu
menghentikan gigitan yang masih menempel di mulut.
“Berarti pula makanan
yang masuk kedalam perutku ini tidaklah halal bagiku. Oh Tuhan….Maafkan
aku.” Itulah penyesalan yang muncul di dalam hati pemuda Idris.”
Lama dia termenung,
teringat ajaran sang guru, bahwa makanan haram yang masuk kedalam badan dan
pakaian yang haram yang menutup badan dapat menjadi suatu sebab terhambatnya
doa.
“Oh Tuhan, ampunilah aku.
Bagaimana caraku untuk membersihkan kesalahanku?” Itulah penyesalan yang tiada
terbilang memenuhi relung hati sang pemuda beriman, Idris.
Setelah merenung bingung
beberapa berselang, akhirnya diperoleh cara untuk menyelesaikannya, “Aku harus
mencari pemilik delima, untuk meminta keikhlasan atasnya.” Akhirnya,pemuda Idris
menyusuri tepian sungai, berusaha mencari pemilik delima tadi. Delima yang
tinggal setengah masih pula di gengang sebagai bukti nanti kalau-kalau sang
pemilik meminta kembali.
Cukup panjang ia menyuri
sungai itu (melawan arus) akhirnya bertemu dengan sebuah perkebunan yang
ditumbuhi pohon delima. Memanglah bahwa lokasi kebun itupun menjorok ke sungai.
“Dari pohon inilah
barangkali delima yang hanyut yang kumakan tadi.” Idris terus mengamati pohon
delima yang menempel di dahan-dahan sambil mencocokannya dengan buah delima
yang ia makan. Ternyata sama persis.
Setelah ia yakin benar,
lantas Idris bertanya untuk mencari pemilik kebun. Bertemulah ia kepada sang
pemilik kebun. Tanpa gusar ia terus berkata kepada orang asing itu,
“Maaf pak, saya kesini
untuk meminta keikhlasan bapak atas kekhilafan yang telah saya lakukan.” kata
Idris membuka pembicaraan.
Lelaki paruh baya yang
sudah ditumbuhi uban itu mengerutkan wajah dengan penuh heran. Pemuda asing
yang datang ini langsung mengajukan permintaan yang sangat ameh baginya.
Permintaan maaf yang diapun tak mengerti arah pembicaraan Idris.
“Apa gerangan yang
membuat anda meminta maaf dan keikhlasan, padahal kita baru saja berjumpa? Saya
sangat yakin tak ada kekeliruan diantara kita berdua.” jawab lelaki setengah
baya.
“Begini pak.
Dijelaskanlah semua permasalahan yang telah menimpa dirinya dari awal hingga
pertemuan mereka. Mendengar penjelasan tersebut, lelaki paruh baya terkejut,
“subhanallah”. Bibirnya sontak berujar memuji Allah.
Beberapa saat laki-laki
separuh baya itu terdiam terhipnotis oleh akhlaq laki-laki asing yang berada di
depannya.
“Baru kali ini aku
melihat seorang laki-laki yang begitu bersemangat menjaga dan mencegah diri
dari dosa, padahal bisa saja ia melupakan perkara itu begitu saja. Tapi
laki-laki muda ini sangat aneh, dan jarang kutemui.” Pak Tua membatin dalam
hati.
Lain halnya dengan pemuda
itu, Idris justru dilanda kekhawatiran tiada terkira, jangan-jangan Pak Tua tak
mau memaafkannya, “Bagaimana, pak, bisakah aku dimaafkan, dan delima yang aku
makan diikhlaskan?”
Pak tua lantas memberi
jawaban dengan wajah yang dibuat-buat agar menimbulkan keangkeran, “Aku mau
menerima maafmu, asal kamu mau menerima persyaratanku.”
“Oh saya mau Pak, apapun
persyaratan yang bapak ajukan, aku mau melakukan, asal bapak mau mengikhlaskan,
” sambut Idris berseri-seri, karena melihat peluang untuk dapat diampuni.
“Pertama kau harus
bekerja dikebunku selama 3 bulan lamanya tanpa diberi upah.” (dalam riwayat
yang lain sampai 1 tahun lamanya)
“Baiklah, saya usahakan!”
jawab pemuda bernama Idris tersebut.
Lama bekerja hingga
akhirnya ia dapat menuntaskan masalahnya, ia pun mendapatkan tantangan kembali
oleh lelaki tua tersebut, menahan kehalalan delima yang sudah dimakan olehnya.
“Begini Nak, “kata Pak
Tua mulai menjelaskan serius, “Aku punya seorang anak perempuan tunggal yang
tuli, bisu, buta dan lumpuh.”
“Lantas?” tanya si Idris
penasaran.
“Aku menghendakimu
menjandi menantuku, mengawini putriku. Itulah satu-satunya syarat yang kuajukan
agar delima yang telah engkau makan dapat aku ihklaskan, “jelas Pak Tua
sejelas-jelasnya.
“Innalillah,” desis hati si Idris ketika mendengar penjelasan, \
“Bagaimana mungkin hanya
untuk mendapatkan keikhlasan sebuah delima harus aku tebus dengan mengawini
wanita cacat segalanya. Apakah cara ini cukup adil?”
Kelihatan sekali kening
pemuda Idris berkerut, mempertimbangakan dan memikirkan keputusan yang sangat
berat.
Pak Tua memperlihatikan
pemuda Idris dengan seksama lantas bertanya malah terkesan setengah memaksa,
“Bagaimana Nak?” Memang
itulah persyaratanku saja.”
Pemuda Idris terdiam,
tampak memikirkan dengan begitu mendalam. Sejenak kemudian ia mengangkat wajah,
mendesah berat, lantas memberikan jawaban,
“Kalau memang hanya cara
itu yang bisa membuat Bapak memaafkan kesalahanku maka aku harus menyanggupinya
wahai Pak Tua.”
Mendengar jawaban Idris,
lelaki paruh baya itu tersenyum bahagia lantas bicara, “Aku ikhlas memberi
ampunan, aku harap kau ikhlas menerima persyaratan.”
“Aku ikhlas, “tukas Idris
lugas, sambil menyodorkan sebuah jabat tangan.
“Kalau begitu, sebelum
aku mengawinkanmu, kupersilakan kau melihat calon istrimu dahulu, Kata Pak Tua,
sambil mempersilakan pemuda Idris melihat calon istrinya di ruang tengah.
Pemuda Idris segera beranjak, menuju ruang yang ditunjukkan. Dengan tangan sedikit
kaku. didorongnya gagang pintu dengan hati berdebar tak menentu karena matanya
akan segera menatap calon istri yang cacat segala rupa.
“Bagaimana bentuk wanita
calonku ini, yang cacat segalanya, buta tuli, lumpuh, bisu?” Beberapa saat
pintu terbuka hampir tak berbunyi. Di lihatnya sorang wanita jelita yang
tampaknya sedanga merenda. Hanya dia dan tak ada lagi wanita lainnya. Bingung.
Pintu ditutup kembali sama pelannya ketika ia membuka lantas menemui Ayah
perempuan.
“Pak, aku tak melihat
orang lain di dalam sana,kecuali hanya seorang wanita yang sedang merenda.”
Pak Tua tersenyum lantas
berujar, “Dialah calon istrimu.”
“Oh Tuhan, bagaimana bisa
begitu? Bukankah Bapak tadi menyebut calonku seorang buta tuli, lumpuh,
bisu? Sedangkan yang didalam sana seorang wanita yang sangat jelita dengan muka
ranum bak delima?” tanya pemuda Idris setengah tak percaya. Hatinya berdebar
kencang.
“Bagini anakku. Dia
memang buta dalam soal melihat kemaksiatan. Dia memang tuli dalam mendengar
pembicaraan yang dapat menimbulkan murka Allah. Dia memang bisu untuk
mengucapkan makian dan lumpuh karena tidak melangkahkan kakinya ke
tempat-tempat maksiat, lokasi berkumpulnya syetan. Dia tak pernah bersentuhan
dengan segala kemaksiatan, Itulah yang kumaksud bahwa dia buta, tuli, lumpuh,
bisu. Karena itulah, tak ada pemuda yang layak menjadi suaminya kecuali orang
sepertimu, yang juga menjaga diri dari segala hal yang berkaitan dengan dosa,
haram, dan kemaksiatan.
Merekapun dinikahkan.
Kebahagian meliputi perjalanan pasangan ini mengarungi bahtera rumah tangga.
Karena niatan Lillah Billah
dan Fillah, halangan demi halangan hanya Allah tempat terbaik dalam
meminta dan berlindung.
Dari pasangan suami-istri
yang terjaga dari dosa dan maksiat, haram dan kemungkaran ini, kemudian lahir
seorang anak shaleh teladan, yang bahkan dalam umur enam tahun telah hafal
Al-Quran. Dialah Muhammad bin Idris Assyafi’i yang tak lain adalah Imam
Syafi’i.
Itulah kesabaran dari ayah seorang ulama besar sepanjang masa
ini. Sang ayah begitu sabar dalam menahan dan menghindari makanan yang haram,
ibu yang selalu menjaga kehormatan dan kesuciannya maka Allah pun mengabulkan
do’a nya, menganugrahkan keduanya seorang anak yang saleh.
Semoga bermanfaat
SM 2…
Thx pak Natiq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar